Krisis finansial Asia adalah krisis finansial yang
dimulai pada Juli 1997 di Thailand,
dan memengaruhi mata uang, bursa saham dan harga aset lainnya di beberapa
negara Asia, sebagian Macan Asia
Timur. Peristiwa ini juga sering disebut krisis
moneter ("krismon")
di Indonesia.
Krisis
ini diyakini disebabkan oleh sejumlah faktor-faktor. Serangan spekulatif
terhadap sejumlah mata uang Asia Timur merupakan pemicu, namun mendalamnya efek
penularan dari negara-negara bertetangga sangat menentukan pada saat terjadi
arus balik aliran modal. Pada tingkat tertentu, krisis ini menunjukkan buruknya
mekanisme pasar dan ketidak-mampuan penilaian risiko oleh para pemberi hutang
internasional. Selama pertengahan pertama dekade 1990, pesta pora diantara
pemberi hutang membawa arus yang deras masuknya aliran modal ke Asia Timur.
Namun pada saat krisis mulai, hal ini segera berbalik menjadi panik dan
penarikan besar-besaran modal-modal tersebut.
Secara kronologis
dapat disebutkan secara singkat, apa yang terjadi sejak bulan Juli 1997,
sebagai berikut :
1.
tertekannya nilai tukar rupiah setelah terjadi hal yang serupa
terhadap baht Thailand yang diikuti dengan pengambangan baht tanggal 2 Juli
1997 dan peso Pilipina 11 Juli 1997.
2.
dilakukan pelebaran kurs intervensi rupiah dari 8% menjadi 12%
pada 11 Juli 1997, setelah dilakukan pelebaran sebanyak enam kali sejak 1994.
3.
dilakukan penghapusan rentang kurs intervensi atau
pengambangbebasan rupiah pada tanggal 14 Agustus 1998.
4.
dilakukan intervensi dalam pasar valas menghadapi tekanan yang
timbul baik setelah pelebaran kurs intervensi maupun setelah 14 Agustus 1997.
Hal ini diikuti dengan langkah-langkah yang biasa dilakukan untuk
mempertahankan kurs dengan intervensi, yaitu pengetatan likuiditas melalui
kebijakan moneter dan fiskal dengan berbagai bentuknya (penundaan pengeluaran
anggaran, peningkatan suku bunga SBI dan pengubahan deposito milik BUMN ke
dalam SBI).
5.
langkah -langkah kebijakan makro dan sektoral 3 September 1997,
suatu "self imposed IMF program "
6.
keputusan untuk meminta bantuan IMF awal Oktober 1997.
7.
perundingan dengan IMF yang menghasilkan 'letter of intent'
pertama, 31 Oktober 1997, dari precautionary menjadi standby arrangement.
Program yang akan diimplementasikan meliputi kebijakan pengendalian moneter dan
nilai tukar, langkah-langkah fiskal, restrukturisasi sektor keuangan dan
restrukturisasi sektor riil.
8.
kebijakan pencabutan ijin usaha 16 bank dan implikasinya.
9.
pencairan pinjaman tahap pertama $3 milyar dari pinjaman IMF $10
milyar sebagai bagian dari paket $43 milyar. Intervensi pasar valas bersama
Jepang dan Singapore yang berhasil, kemudian implementasi program dengan
dukungan IMF yang kurang lancar (masalah tuntutan terhadap Gubernur BI dan
Menkeu di PTUN, ketidakjelasan pelaksanaan penghapusan monopoli dan penundaan
proyek-proyek serta pelaksanaan kebijakan moneter yang seret) dan reaksi pasar
yang negatif
10.
proses terjadinya 'letter of intent' kedua, 15 Januari 1998,
didahului dengan desakan G7.
11.
reaksi pasar terhadap kemungkinan pencalonan Habibie sebagai
Wapres.
12.
pelaksanaan restrukturisasi perbankan dengan pemberian garansi
terhadap semua deposito, giro, tabungan dan pinjaman perbankan serta pendirian
BPPN.
13.
heboh CBS, usulan Steve Henke, dan implikasi yang ditimbulkan.
14.
keputusan BPPN membekukan 7 bank serta melaksanakan pengawasan
intensif terhadap 7 bank lain.
15.
perundingan Pemerintah dengan IMF yang menghasilkan
"Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi dan Keuangan",
yang ditanda tangani Menko Ekuin pada tanggal 9 April 1998.
16.
pencairan pinjaman tahap ke dua sebesar $1 milyar.
17.
penyelesaian pinjaman swasta dengan berbagai perundingan di Tokyo,
New York dan Frankfurt
18. Pengumuman Kabinet
Reformasi dan pemberian status independen ke pada Bank
Indonesia setelah pergantian Presiden dari Soeharto ke Habibie.
FAKTOR
PEMICU KRISIS
Diantara
sejumlah penjelasan mengenai penyebab krisis, beberapa faktor dinilai sebagai
pemicu atau awal mula timbulnya kondisi yang berbahaya sehingga krisis mulai
terjadi dan kemudian berlanjut secara berlarut-larut:
·
Penurunan
nilai matauang regional terhadap US dollar, pada tingkat tertentu menggambarkan
penyesuaian global nilai tukar valas beberapa negara penting terhadap US
dollar, terutama mata uang Yen dan Deutsche Mark yang terjadi sejak 1995.
·
Semakin
bertambahnya kerawanan mata uang domestik terhadap goncangan-goncangan dari
luar. Ada tiga area yang perlu menjadi perhatian :
(i)
Terjadinya penurunan kegiatan export diwilayah ini sejak tahun 1996
membangkitkan kecemasan terhadap defisit rekening berjalan akan semakin buruk
sehingga terus menekan nilai mata uang. Penurunan ekspor disebabkan bukan hanya
oleh faktor siklikal, tetapi juga oleh faktor struktural yang mengakibatkan
penurunan kemampuan bersaing barang-barang ekspor.
(ii)
Pembiayaan defisit neraca berjalan juga menambah tingkat risiko
regional, karena struktur maturitas aliran modal masuk beralih dari penanaman
modal langsung jangka panjang (long term FDI) menjadi aliran dana portofolio
dan pinjaman jangka pendek. Akumulasi investasi semacam ini bagi perekonomian
domestik sangat berbahaya karena sewaktu-waktu dapat terjadi arus balik.
(iii)
Pertambahan pinjaman luar negeri oleh sektor swasta, terutama yang
berjangka pendek. Sebelum masa krisis, pinjaman ini dapat terbayar oleh
besarnya kemampuan ekspor dan pertumbuhan pendapatan domestik. Selain itu,
risiko perubahan nilai tukar valas dapat dikatakan minimal karena selama belum
krisis nilai mata uang bertahan stabil.
·
Pada
waktu krisis semakin mendalam, perhatian pasar beralih kepada stabilitas sistim
perbankan; Kerapuhan sistim perbankan dikawasan ini berkaitan dengan
pertumbuhan kredit yang luarbiasa dimana alokasinya banyak cenderung untuk sektor
non-perdagangan dan berisiko tinggi, yaitu properti dan pasar saham. Disamping
itu terjadi akumulasi pinjaman luar negeri jangka pendek yang digunakan untuk
menggerakkan banyak aktivitas ekonomi domestik. Pada waktu kegiatan ekonomi
mulai menurun dan tingkat suku bunga domestik melonjak, sektor properti dan
perdagangan saham terguncang dan menekan kemampuan pengembalian hutang peminjam
domestik, sehingga perbankan terancam mengalami penurunan kualitas asset.
·
Bagaimanapun
juga, efek imbasan krisis tidak seluruhnya dapat menjelaskan pergerakan
nilai tukar mata uang berbagai negara terhadap US dollar. Kerawanan ekonomi
domestik terhadap goncangan dari luar dan kerapuhan sektor perbankan sangat
berbeda-beda antar negara di kawasan ini. Perubahan sentimen pasar dan
kepercayaan investor juga berperan besar membawa krisis semakin parah. Pada
awalnya, kawasan ini menikmati aliran masuk modal besar-besaran selama euforia
sedang berlangsung dengan menggeloranya pertumbuhan ekonomi dan pasar aktiva.
Prospek adanya perbaikan terus-menerus membawa sikap penilaian risiko yang
terlalu rendah, dan kemudian diperkuat lagi oleh persepsi pasar adanya jaminan
secara implisit oleh pemerintah. Pada waktu perkembangan berbalik, pasar
tiba-tiba mempertimbangkan kembali seluruh situasi ekonomi keuangan di kawasan.
Dengan cepat hal ini menyadarkan akan persepsi ancaman yang melonjak, dan
langsung merusak sentimen pasar maupun kepercayaan investor. Perilaku
"geropyokan" yang semula mendorong aliran modal masuk berbalik
menjadi penarikan modal besar-besaran seketika saat krisis berkobar. Semakin
parah dalam perkembangan selanjutnya, menjadikan kerawanan pasar finansial
seolah lingkaran setan antara kepercayaan dan sentimen buruk, yaitu dengan
adanya:
i.
Penurunan
peringkat kredit oleh agen-agen pemeringkat internasional
ii.
Ketidak
pastian politik mengenai komitmen pelaksanaan kebijakan pemerintah yang drastis
untuk menstabilkan kondisi makroekonomi dan reformasi sektor perbankan.
iii.
Tindakan
revisi kebawah oleh analis sektor swasta mengenai prospek jangka
pendek-menengah bagi ekonomi regional dan sektor perbankan.
iv.
Mulai
timbul kesulitan pembayaran hutang oleh sebagian perekonomian kawasan
KEBIJAKAN YANG DITEMPUH
SELAMA KRISIS 1997
A. KEBIJAKAN DI NEGARA REGIONAL
Pada
awal krisis upaya menstabilkan mata uang dan menahan tekanan spekulatif di
pasar uang dan bursa saham dilakukan dengan intervensi langsung di pasar valas,
menaikkan suku bunga dan menerapkan beberapa pembatasan aliran modal serta
kontrol devisa. Namun upaya-upaya ini terbukti kurang berhasil menahan
depresiasi maupun mengurangi spekulasi di pasar uang dan bursa saham.
Intervensi di pasar valas menjadi beban sangat mahal, dan akan berakhir dengan habisnya cadangan devisa
pada saat ekspor sedang melemah sehingga tidak dapat diandalkan sebagai sumber
pemasukan devisa. Menaikkan suku bunga untuk menopang nilai mata uang berakibat
semakin membebani ekonomi yang sedang melemah dan semakin menjatuhkan nilai
saham di bursa. Selanjutnya pembatasan lalu lintas devisa merusak kepercayaan
pasar, karena tindakan ini diartikan sebagai kebalikan dari komitmen
liberalisasi dan adopsi ekonomi pasar bebas.
Ditengah-tengah
berkecamuknya tekanan jual di pasar uang dan bursa saham, pihak yang berwenang
mulai berpaling kepada masalah ketidakseimbangan dan kelemahan struktural di
sektor ekonomi dan perbankan domestik. Pergeseran titik fokus kebijakan
penanggulangan menghasilkan implementasi program stabilisasi yang komprehensif
dengan maksud mengembalikan kepercayaan pasar dan investor, dan pada akhirnya
mengembalikan stabilitas di pasar uang. Restrukturisasi dan reformasi ekonomi
dan sektor perbankan mulai dijalankan sementara fundamental ekonomi diperkuat.
Untuk Thailand, Indonesia dan Korea Selatan, upaya ini merupakan bagian dari
syarat-syarat bantuan keuangan internasional yang dimotori oleh IMF, dan
mengikut sertakan sejumlah badan internasional, yaitu Bank Dunia, ADB, dan
negara-negara industri maju dan Asia Pasifik. Paket bantuan keuangan,
keseluruhan berjumlah USD118.6 miliar (terdiri dari USD17.2 miliar untuk
Thailand, USD43 miliar untuk Indonesia, dan USD58.4 miliar untuk Korea Selatan)
disediakan sebagai likuiditas untuk mengisi cadangan devisa negara-negara ini
agar dapat memenuhi kewajiban-kewajiban finansial jangka pendek. Filipina
melanjutkan partisipasinya dalam program IMF, dan mendapat bantuan dari Bank
Dunia serta tambahan dana dari ADB. Sementara itu, Malaysia meluncurkan program
penyesuaian makroekonomi swa-karsa, dan menyatakan akan melancarkan tindakan-tindakan
untuk memperkuat sektor perbankan. Kebijakan ini dituangkan dalam Anggaran
tahun 1998 dan diikuti dengan sejumlah program pelaksanaan.
Kebijakan
penanggulangan krisis oleh negara-negara regional menyangkut unsur-unsur utama
seperti berikut:
·
Program stabilisasi makroekonomi melalui pengetatan kebijakan
fiskal dan moneter, menyangkut pemotongan pengeluaran, peningkatan
pajak, penundaan projek infrastruktur yang tidak mendesak, dan kontrol terhadap
pertumbuhan moneter dan kredit, dengan maksud utamamengurangi defisit neraca
berjalan dan menurunkan inflasi.
·
Pengaturan liberalisasi dan reformasi berorientasi pasar, terutama dalam
perdagangan domestik dan internasional, yang antara lain termasuk penghapusan
monopoli, pengendalian harga dan tarif, serta memberikan lebih banyak kebebasan
investasi asing dan penyertaan modal dalam perekonomian domestik dan sektor
keuangan.
·
Reformasi dan restrukturisasi di sektor perbankan untuk mengatasi
kelemahan di sektor ini. Di Thailand, Indonesia dan Korsel, tindakan ini
berakibat penutupan bank-bank dan lembaga keuangan yang insolven, dan lembaga
keuangan yang masih bisa bertahan diperbaiki melalui rekapitalisasi dan merger.
Dibeberapa negara, dibentuk lembaga baru untuk mengawasi proses restrukturisasi
finansial, dan manajemen asset yang buruk. Misalnya Thailand memiliki Financial
Restructuring Agency (FRA) dan Asset Management Corporation (AMC), dan di
Indonesia dibentuk IBRA (BPPN). Di Malaysia, bank sentral mengkonsolidasikan
sektor perbankan melalu merger dan rekapitalisasi lembaga keuangan. Disamping
itu kerangka kerja dan peraturan penyehatan diperketat, sesuai dengan standar
internasional, terutama dalam hubungan klasifikasi hutang macet serta
penyediaan kecukupan modal. Kewajiban keterbukaan untuk memberikan informasi
lebih luas juga dipertegas agar transparansi benar-benar dijalankan.
·
Restrukturisasi hutang luar negeri juga menjadi
agenda penting dalam kebijakan penanggulangan ekonomi regional yang terkena
krisis, karena akibat depresiasi matauang yang tajam telah menjadikan
kekurangan likuiditas domestik dan penurunan kegiatan ekonomi menaikkan beban
kewajiban bunga dan pembayaran hutang. Pada 28 Januari 1998, Korsel berhasil
menyelesaikan perundingan untuk roll over dan penjadwalan kembali pinjaman
luarnegeri jangka pendek yang segera jatuh tempo, sementara [pada waktu naskah
ini ditulis] perundingan masih berjalan bagi Thailand dan Indonesia.
B. KEBIJAKAN DI INDONESIA
Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode
1997
- 1999
Sejak Juli 1997 telah terjadi krisis ekonomi
moneter yang menggoncang sendi-sendi ekonomi dan politik nasional. Bagi
perbankan, krisis telah menimbulkan kesulitan likuiditas yang luar biasa akibat
hancurnya Pasar Uang antar Bank (PUAB). Sebagai lender of the last resort BI
harus membantu mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan pembayaran untuk
mempertahankan kelangsungan ekonomi nasional. Nilai tukar Rupiah terus merosot
tajam, pemerintah melakukan tindakan pengetatan Rupiah melalui kenaikan suku
bunga yang sangat tinggi dan pengalihan dana BUMN/yayasan dari bank-bank ke BI
(SBI) serta pengetatan anggaran Pemerintah. Ternyata kebijakan tersebut
menyebabkan suku bunga pasar uang melambung tinggi dan likuiditas perbankan
menjadi kering yang menimbulkan bank kesulitan likuiditas. Segera setelah itu
masyarakat mengalami kepanikan dan kepercayaan mereka terhadap perbankan mulai
menurun. Maka terjadi penarikan dana perbankan secara besar-besaran yang sekali
lagi menimbulkan kesulitan likuiditas pada seluruh sistem perbankan. Akibatnya
sistem pembayaran terancam macet dan kelangsungan ekonomi nasional tergocang.
Untuk itu pada Oktober 1997, pemerintah mengundang IMF untuk membantu program pemulihan
krisis di Indonesia. Pada 31 Oktober 1997 disetujui LoI pertama yang merupakan
program pemulihan krisis IMF. Pemerintah antara lain menyatakan akan menjamin
pembayaran kembali kepada para deposan.
Memasuki 1998 keadaan ekonomi semakin
memburuk, nilai Rupiah terhadap Dollar tertekan hingga Rp 16.000 hal tersebut
disebabkan pasokan barang yang menurun dengan tajam karena kegitan produksi
berkurang dan jalur distribusi terganggu karena rusaknya sentra-sentra
perdagangan karena kerusuhan Mei 1998. Pada 15 Januari 1998 Pemerintah
mempercepat program stabilisasi dan reformasi ekonomi dengan LoI kedua. LoI
kedua diikuti dengan LoI ketiga 8 April 1998 yang mencakup program stabilisasi
Rupiah, pembekuan 7 bank dan penempatan nya pada BPPN serta penyelsaian hutang
swasta dengan Pemerintah sebagai mediator. Kemudian LoI keempat pada 25 Juni
1998 yang mencakup revisi atas target-target ekonomi dan penyediaan Jaringan
Pengaman Sosial (JPS). Selain mengatasi krisis moneter, pemerintah juga juga
membantu menyelesaikan pinjaman luar negeri sektor swasta. Diantaranya
pemerintah membentuk Tim Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta (TPULNS) yang
menghasilkan kesepakatan di Frankfurt pada 4 Juni 1998 tentang penyelesaian
utang luar negeri swasta. Masih dalam upaya yang serupa, pemerintah membentuk
INDRA (Indonesian Restructuring Assets) yang bertugas melindungi
debitur Indonesia dari resiko perubahan nilai tukar pada jumlah hutangnya. Kemudian
pada 9 September 1998 pemerintah membentuk Prakarsa Jakarta untuk menyediakan akses
bagi perusahaan agar dapat mendaptkan modal baru guna menggerakkan kembali
usahanya. Langkah tersebut diambil sebagai bagian dari program restrukturisasi
dan rekapitulasi perbankan.
2. Arah Kebijakan 1997-1999
Globalisasi pasar dunia yang semakin meluas membawa konsekuensi
liberalisasi pasar internasional. Kondisi ini mengakibatkan sulitnya
mengendalikan moneter terhadap tekanan perekonomian dunia.
Globalisasi pasar dunia yang semakin meluas membawa
konsekuensi liberalisasi pasar internasional. Kondisi ini mengakibatkan
sulitnya mengendalikan moneter terhadap tekanan perekonomian dunia. Dalam
kondisi seperti ini, proses pembentukan harga (nilai tukar mata uang, suku
bunga, indeks saham, harga komoditi dlsb) ikut ditentukan oleh perekonomian
negara-negara lain. Krisis moneter di beberapa negara Amerika Latin, Eropa
Timur dan Asia termasuk Indonesia tidak terlepas dari proses globalisasi pasar
dimaksud. Dengan krisis nilai tukar Rupiah terhadap Valas, terutama USD yang
terjadi sejak pertengahan 1997, mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat
terhadap Rupiah, kemudian terhadap perbankan, dan berlanjut terhadap Pemerintah
atas penanganan krisis dimaksud. Kebijakan-kebijakan moneter dalam periode ini
diarahkan untuk menahan spekulasi valuta asing sekaligus mengamankan cadangan
devisa.
3. Langkah-Langkah Strategis
1997-1999
Untuk mengurangi tekanan depresiasi Rupiah,
kebijakan-kebijakan moneter yang ditempuh melingkupi berbagai hal, antara lain
pelebaran band intervensi, pembatasan transaksi valuta asing oleh perbankan,
perubahan system nilai tukar dan pengetatan likuiditas perbankan.
Untuk mengurangi tekanan depresiasi Rupiah,
kebijakan-kebijakan moneter yang ditempuh melingkupi berbagai hal, antara lain
pelebaran band intervensi, pembatasan transaksi valuta asing oleh perbankan,
perubahan system nilai tukar dan pengetatan likuiditas perbankan. Berbagai
langkah tidak sepenuhnya berhasil menahan laju depresiasi rupiah karena krisis
dimaksud dalam waktu singkat telah berkembang dari semula krisis moneter
menjadi krisis ekonomi, krisis sosial budaya, dan krisis politik sehingga
menjadi krisis multidimensi.
Kala itu depresiasi rupiah tetap berlangsung hingga pernah
mencapai 600% dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, yaitu dari RP. 2.350,-
menjadi Rp. 16.000,- per 1 USD. Sementara itu, suku bunga antar bank sempat
mencapai 60% per tahun. Akibat lainnya distribusi barang sempat mengalami
kemandegan menunggu kestabilan harga dan keamanan, terutama karena terjadi
demonstrasi dan
pengerusakkan pusat-pusat perdagangan oleh massa di
berbagai kota. Hingga akhir periode ini, pertumbuhan ekonomi menurun 13,7%,
harga barang-barang melonjak, perusahaan-perusahaan gulung tikar, pengangguran
meningkat dan berberapa fasilitas umum serta pusat perdagangan rusak berat.
4. Kebijakan
Devisa di Indonesia 1997-1999
Pada periode ini kebijakan devisa yang dianut masih devisa
bebas berdasarkan PP No. 1 tahun 1982 yang kemudian diperkuat dengan
Undang-undang No 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai
Tukar. Pada periode ini kebijakan devisa yang dianut masih devisa bebas berdasarkan
PP No. 1 tahun 1982 yang kemudian diperkuat dengan Undang-undang No 24 Tahun 1999
tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Dalam Undang-undang tersebut
ditetapkan bahwa setiap penduduk bebas memiliki dan menggunakan devisa, namun
wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang
dilakukannya.
Atas dasar pengaturan tersebut maka Bank Indonesia
mewajibkan bank-bank untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan
transaksi devisa maupun dalam pengelolaannya. Sementara itu, pemilikan dan
penggunaan devisa oleh masyarakat umum belum diatur system
pelaporannya. Berbagai kebijakan pada periode sebelumnya, khususnya dalam
rangka pengembangan Penanaman Modal Asing (PMA) maupun pinjaman luar negeri,
telah meningkatkan cadangan devisa di awal tahun 1997, apalagi investor asing
semakin tertarik menanamkan dana di Indonesia.
Akan tetapi krisis nilai tukar Rupiah terhadap valuta
asing, terutama dollar Amerika sejak Juli 1997, telah mengakibatkan pembelian
devisa oleh sektor swasta meningkat tajam sehingga cadangan devisa Indonesia
nyaris deficit, padahal jumlah pinjaman luar negeri saat itu cukup besar. Di
pihak lain, terdepresiasinya Rupiah yang sangat dalam telah memperlemah daya
beli devisa untuk pembayaran utang luar negeri. Kondisi ini salah satu
risikonya adalah bahwa letter of credit (1/c) yang diterbitkan oleh bank-bank
nasional tidak diterima di luar negeri. Risiko selanjutnya, pasokan
barang-barang impor terpenting seperti obat-obatan dan makanan bayi menjadi
langka. Untuk mengatasi hal ini maka Bank Indonesia memberikan jaminan tunai
atas 1/c-1/c dimaksud.
Namun demikian pinjaman luar negeri tersebut bersifat
selektif, yaitu harus memenuhi kriteria-kriteria :
1) Tidak dikaitkan dengan ikatan politik
2) Selalu mengutamakan pinjaman dengan persyaratan ringan
3) penggunaannya disesuaikan dengan rencana pembangunan
4) Senantiasa disesuaikan dengan kemampuan membayar
kembali.
5. Kebijakan nilai tukar di Indonesia
1997-1999
Sejak
awal paruh kedua Juli 1997, nilai tukar Rupiah terdepresiasi terhadap valuta asing,
terutama USD. Demikian cepatnya proses penurunan Rupiah tersebut terjadi sehingga
menimbulkan kepanikan pasar. Sejak awal paruh kedua Juli 1997, nilai tukar
Rupiah terdepresiasi terhadap valuta asing, terutama USD. Demikian cepatnya
proses penurunan Rupiah tersebut terjadi sehingga menimbulkan kepanikan pasar.
Berbagai kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia tidak berhasil menghentikan
laju penurunan nilai tukar tersebut, baik dalam bentuk pelebaran band
intervensi, pengetatan likuiditas perbankan maupun moral suasi kepada para
pelaku pasar. Untuk menyelamatkan cadangan devisa maka pada tanggal 14 Agustus
1997 band intervensi dilepas dan selanjutnya Indonesia menerapkan kebijakan
nilai tukar mengambang hingga sekarang. Sistem ini kemudian dikukuhkan dengan
Undang-undang No.23 dan 24 Tahun 1999. Dalam Undang-undang tersebut ditetapkan bahwa
sistem nilai tukar di Indonesia ditetapkan oleh Pemerintah setelah mendengar rekomendasi
dari Bank Indonesia. Hal ini dilakukan karena sistem nilai tukar akan berdampak
sangat luas, tidak saja terhadap kegiatan bidang moneter dan sektor keuangan,
tetapi juga kegiatan ekonomi riil.
6. Kebijakan hutang luar Negeri
1997-1999
Melemahnya
nilai tukar rupiah yang berkepanjangan mengakibatkan beban pembayaran hutang
luar negeri meningkat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagian
hutang luar negeri swasta tidak dilindungi nilai, penggunaan hutang jangka
pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang, serta hutang luar negeri yang
dipergunakan untuk pembiayaan usaha yang berorientasi domestik. Melemahnya
nilai tukar rupiah yang berkepanjangan mengakibatkan beban pembayaran hutang
luar negeri meningkat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagian
hutang luar negeri swasta tidak dilindungi nilai, penggunaan hutang jangka
pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang, serta hutang luar negeri yang dipergunakan untuk pembiayaan usaha yang
berorientasi domestik. Di samping itu, melemahnya nilai tukar juga menurunkan
kepercayaan kreditur terhadap kemampuan debitur untuk membayar kembali
hutang-hutangnya. Akibatnya, sektor swasta mengalami kesulitan mendapatkan roll
over bagi utang yang jatuh tempo dan mengakibatkan krisis hutang swasta.
Kebijakan yang ditempuh dalam penyelesaian hutang luar negeri swasta, tim penyelesaian
hutang luar negeri swasta yang didukung oleh Pemerintah melakukan serangkaian
perundingan dengan kreditur luar negeri yang diwakili oleh Bank Steering
Committee. Perundingan yang dilakukan di Frankfurt pada 4 Juni 1998
mencapai kesepakatan mengenai penyelesaian pinjaman antara bank, pinjaman
perusahaan swasta dan pembiayaan perdagangan. Penyelesaian utang antar bank dilakukan
melalui program pertukaran hutang antarbank (exchange offer). Pada tahap
pertama pinjaman yang dipertukarkan adalah pinjaman yang jatuh waktu sampai
dengan 31 Maret 1999 yang dijadwalkan kembali menjadi pinjaman baru dengan
maksimum jatuh waktu 4 tahun. Jumlah pinjaman bank nasional kepada kreditur
luar negeri yang sudah dipertukarkan mencapai USD3 miliar dengan melibatkan 41
bank peserta. Dari jumlah tersebut, yang dijadwalkan kembali dengan jatuh waktu
1 tahun sebesar 13,3%, 2 tahun 26,6%, 3 tahun 48,0%, dan 4 tahun 12,1%. Berkaitan dengan penyelesaian hutang luar
negeri jangka pendek perusahaan swasta, Pemerintah membentuk INDRA yang
berfungsi sebagai lembaga perantara antara perusahaan debitur dan kreditur luar
negeri. Dalam perkembangannya, INDRA melakukan penyesuaian atas skim-skim
kredit tersebut. Berkaitan dengan program INDRA, Pemerintah membentuk Satuan
Tugas Prakarsa Jakarta yang berfungsi sebagai fasilitator bagi
perusahaan-perusahaan yang menghadapi masalah dalam menyelesaikan pinjamannya
sehingga debitur dapat memilih untuk mengikuti program INDRA atau memilih cara
lain, seperti debt to equity swap dan upaya penyelesaian di luar
pengadilan. Dalam pelaksanaannya sampai dengan akhir tahun 1998 satuan tugas
tersebut telah menangani 122 kasus dengan nilai utang sebesar USD15,5 milyar. Dalam
hal hutang luar negeri sektor pemerintah, dilakukan upaya restrukturisasi melalui
penandatanganan MOU Paris Club pada 23 September 1998 dengan kreditur yang
diwakili oleh 17 negara donor. Perjanjian tersebut menandai adanya penjadwalan
kembali kewajiban pembayaran utang pokok yang jatuh tempo dalam masa
konsolidasi, yakni terhitung sejak awal Agustus 1998 hingga akhir Maret 2000. Berdasarkan
MOU Paris Club, pinjaman yang akan direstrukturisasi berjumlah USD4,2 milyar,
terdiri dari pinjaman lunak sebesar USD1,2 milyar dan fasilitas kredit ekspor
sebesar USD3 milyar. Pinjaman lunak dijadwalkan kembali atau dibiayai dengan
pinjaman baru berjangka waktu 20 tahun, termasuk masa tenggang 5 tahun dengan
tingkat bunga yang berlaku bagi pinjaman lunak. Fasilitas kredit ekspor dibiayai
kembali atau dijadwalkan dengan jangka waktu 11 tahun, termasuk masa tenggang 3
tahun dengan tingkat bunga pasar.
KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO YANG DILAKUKAN OLEH BI DARI SISI MONITER
YANG SIFATNYA MENDESAK
Upaya penyehatan dan permberdayaan sektor perbankan telah menyita
perhatian yang sangat besar, tidak hanya dari segi waktu dan tenaga yang
dicurahkan tetapi juga dari segi biaya yang dikeluarkan. Hal ini dikarenakan
pentingnya peranan perbankan dalam proses kebangkitan ekonomi secara
keseluruhan. Di samping peranannya dalam penyelenggaraan transaksi pembayaran
nasional dan internasional serta menjalankan fungsi intermediasi (penyaluran
dana dari penabung/pemilik dana ke investor), sektor perbankan juga berfungsi
sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Dengan industri perbankan yang pada
umumnya mengalami kesulitan, transmisi kebijakan moneter melalui sektor
perbankan tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Hal ini mengakibatkan
kebijakan moneter kurang efektif dalam mencapai sasarannya. Dengan demikian,
sangat sulit dibayangkan format pemulihan ekonomi nasional melalui program
stabilisasi makroekonomi apabila sektor perbankan tetap berada dalam kesulitan
yang parah.
Upaya
pemberdayaan perbankan dapat dikelompokkan ke dalam empat aspek, yaitu
rekapitalisasi bank-bank, restrukturisasi kredit perbankan, pengembangan
infrastruktur perbankan, dan penyempurnaan pelaksanaan fungsi pengawasan bank.
Aspek Pertama, rekapitalisasi bank-bank. Mengingat kondisi permodalan bank-bank sudah
demikian parah sebagai akibat dari krisis ekonomi, sebagaimana telah diuraikan
di muka, langkah strategis pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki
permodalan tersebut. Kebijakan
rekapitalisasi ini disusun dalam suatu paket, yang terdiri dari:
- Rekapitalisasi bagi bank-bank yang viable untuk dapat menjadi sehat dan mencapai rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio –CAR) minimum sebesar 8% pada tahun 2001. Bank-bank ini dinyatakan lulus dari tiga buah test yang sangat ketat meliputi kondisi keuangan, integritas pemilik dan manajemen, serta renca kerja untuk tiga tahun.
- Pembersihan bank-bank dari pemilik dan pengurus yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pemilik dan pengurus yang baik (tidak fit and proper).
- Penutupan bagi bank-bank yang diperkirakan tidak akan mampu bertahan.
- Penyelesaian aset-aset bank-bank yang ditutup.
- Penyelesaian bagi kredit macet perbankan, dengan mengalihkan ke Aset Management Unit dan menghapusbukukan dari bank-bank yang direkapitalisasi.
Dalam melaksanakan rekapitalisasi perbankan dibutuhkan biaya dalam
jumlah besar. Dana tersebut dapat datang dari sektor swasta dan dari
pemerintah. Penambahan modal dari sektor swasta dapat datang dari pemodal
domestik maupun pemodal asing. Yang paling baik adalah dari pemodal domestik
karena kepemilikan bank-bank oleh pihak domestik akan lebih memperkuat
ketahanan ekonomi nasional. Namun, akibat krisis ekonomi hal yang ideal ini sulit
dicapai karena sektor swasta nasional sedang mengalami kesulitan likuiditas.
Untuk ini maka peranan investor asing menjadi penting. Dengan masuknya investor
asing dalam perbankan nasional maka kepercayaan luar negeri terhadap
perekonomian Indonesia akan meningkat.
Aspek kedua adalah restrukturisasi kredit. Aspek ini sangat menentukan
keberhasilan program rekapitalisasi perbankan dan program penyehatan ekonomi
secara keseluruhan. Kegiatan ini didasarkan pada ketentuan restrukturisasi
kredit bulan November 1998 dan berlaku bagi bank-bank yang ikut dalam program
rekapitalisasi, baik bank-bank pemerintah, BPD, maupun bank-bank swasta
nasional. Restrukturisasi kredit yang dilakukan melalui prakarsa Bank Indonesia
ini melengkapi restrukturisasi kredit dan aset perbankan lainnya yang dilakukan
oleh BPPN. Restrukturisasi kredit, yang pada hakekatnya merupakan bagian utama
dari retrukturisasi dunia usaha ini, diharapkan dapat memperbaiki pembukuan
bank, dan sekaligus menggairahkan para debiturnya untuk kembali berproduksi,
yang berarti menggerakkan sektor riil.
Aspek ketiga adalah
pengembangan infrastruktur perbankan, untuk meningkatkan daya tahan bank-bank
dalam menghadapi berbagai gejolak. Salah satu sarana yang sedang disiapkan adalah pendirian Lembaga
Penjamin Simpanan, yang akan menggantikan
program penjaminan pemerintah yang pada waktu ini berlaku dan akan berakhir
pada bulan Januari 2000. Sarana lain adalah pengembangan bank syariah, yang pada
dirinya dapat diharapkan mempunyai daya tahan yang lebih baik menghadapi
masamasa krisis, dan dengan demikian dapat memperkuat sistem perbankan secara keseluruhan.
Khusus
mengenai bank syariah perlu dikemukan bahwa pengalaman selama krisis ekonomi ini memberikan suatu pelajaran
berharga bagi kita bahwa prinsip risk
sharing (berbagi risiko) atau profit and loss sharing (bagi hasil), sebagaimana
yang terdapat pada sistem bank berdasarkan prinsip syariah, merupakan suatu prinsip
yang dapat berperan meningkatkan ketahanan satuan-satuan ekonomi. Dalam hal
ini, prinsip bagi hasil atau berbagi risiko antara pemilik dana dan pengguna
dana sudah diperjanjikan secara jelas dari awal, sehingga jika terjadi
kesulitan usaha karena krisis ekonomi, misalnya, maka risiko kesulitan usaha
tersebut otomatis ditanggung bersama oleh pemilik dana dan pengguna dana.
Dengan demikian kesulitan ekonomi akan relatif lebih ringan terasa oleh perorangan
dan badan usaha secara individual sehingga kebangkitan kembali ekonomi dapat
diharapkan berlangsung lebih cepat.
Aspek keempat yang tidak kalah pentingnya adalah menyempurnakan pelaksanaan fungsi pengawasan bank, yaitu
dengan lebih mengutamakan penegakan aturan (law enforcement) dan dengan
meningkatkan frekuensi pemeriksaan bank yang difokuskan pada resiko yang
dihadapi oleh setiap bank. Keempat aspek
dalam rangka restrukturisasi perbankan tersebut berjalan simultan. Melalui berbagai upaya ini diharapkan
kelemahan sistem perbankan yang selama ini menjadi sumber dari beratnya
kerusakan ekonomi akibat krisis akan berangsur-angsur hilang sehingga kita akan
memiliki sistem perbankan yang mempunyai ketahanan yang tinggi.
Vendrian Dinata.
Saya Widaya Tarmuji, saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah TRACY MORGAN LOAN FIRM. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir 32 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
BalasHapusTapi Tracy Morgan memberi saya mimpi saya kembali. Ini adalah alamat email yang sebenarnya mereka: tracymorganloanfirm@gmail.com. Email pribadi saya sendiri: widayatarmuji@gmail.com. Anda dapat berbicara dengan saya kapan saja Anda inginkan. Terima kasih semua untuk mendengarkan permintaan untuk saran saya. hati-hati
PELUANG LAIN LAGI, APAKAH ANDA BISNIS MAN / WOMAN, A PEKERJA DI ORGANISASI, Wiraswasta? Membutuhkan pinjaman pribadi untuk bisnis tanpa stres, Jika demikian, hubungi kami hari ini, kami menawarkan pinjaman pada tingkat bunga rendah dari 2%, Anda dapat melanjutkan tahun ini dengan senyum di wajah Anda, keselamatan, kebahagiaan pelanggan kami adalah kekuatan kita . Jika Anda tertarik, mengisi formulir aplikasi pinjaman di bawah ini:
BalasHapusInformasi Peminjam:
Nama lengkap: _______________
Negara: __________________
Sex: ______________________
Umur: ______________________
Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
Durasi Pinjaman: ____________
Tujuan pinjaman: _____________
Nomor ponsel: ________
Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami sekarang melalui email: mariasednerloanfirm@gmail.com