Minggu, 29 Januari 2012

PENYEBAB UTAMA PARAHNYA KRISIS DI ASIA

Krisis finansial Asia adalah krisis finansial yang dimulai pada Juli 1997 di Thailand, dan memengaruhi mata uang, bursa saham dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia, sebagian Macan Asia Timur. Peristiwa ini juga sering disebut krisis moneter ("krismon") di Indonesia.
Krisis ini diyakini disebabkan oleh sejumlah faktor-faktor. Serangan spekulatif terhadap sejumlah mata uang Asia Timur merupakan pemicu, namun mendalamnya efek penularan dari negara-negara bertetangga sangat menentukan pada saat terjadi arus balik aliran modal. Pada tingkat tertentu, krisis ini menunjukkan buruknya mekanisme pasar dan ketidak-mampuan penilaian risiko oleh para pemberi hutang internasional. Selama pertengahan pertama dekade 1990, pesta pora diantara pemberi hutang membawa arus yang deras masuknya aliran modal ke Asia Timur. Namun pada saat krisis mulai, hal ini segera berbalik menjadi panik dan penarikan besar-besaran modal-modal tersebut.
Secara kronologis dapat disebutkan secara singkat, apa yang terjadi sejak bulan Juli 1997, sebagai berikut :
1.      tertekannya nilai tukar rupiah setelah terjadi hal yang serupa terhadap baht Thailand yang diikuti dengan pengambangan baht tanggal 2 Juli 1997 dan peso Pilipina 11 Juli 1997.
2.      dilakukan pelebaran kurs intervensi rupiah dari 8% menjadi 12% pada 11 Juli 1997, setelah dilakukan pelebaran sebanyak enam kali sejak 1994.
3.      dilakukan penghapusan rentang kurs intervensi atau pengambangbebasan rupiah pada tanggal 14 Agustus 1998.
4.      dilakukan intervensi dalam pasar valas menghadapi tekanan yang timbul baik setelah pelebaran kurs intervensi maupun setelah 14 Agustus 1997. Hal ini diikuti dengan langkah-langkah yang biasa dilakukan untuk mempertahankan kurs dengan intervensi, yaitu pengetatan likuiditas melalui kebijakan moneter dan fiskal dengan berbagai bentuknya (penundaan pengeluaran anggaran, peningkatan suku bunga SBI dan pengubahan deposito milik BUMN ke dalam SBI).
5.      langkah -langkah kebijakan makro dan sektoral 3 September 1997, suatu "self imposed IMF program "
6.      keputusan untuk meminta bantuan IMF awal Oktober 1997.
7.      perundingan dengan IMF yang menghasilkan 'letter of intent' pertama, 31 Oktober 1997, dari precautionary menjadi standby arrangement. Program yang akan diimplementasikan meliputi kebijakan pengendalian moneter dan nilai tukar, langkah-langkah fiskal, restrukturisasi sektor keuangan dan restrukturisasi sektor riil.
8.      kebijakan pencabutan ijin usaha 16 bank dan implikasinya.
9.      pencairan pinjaman tahap pertama $3 milyar dari pinjaman IMF $10 milyar sebagai bagian dari paket $43 milyar. Intervensi pasar valas bersama Jepang dan Singapore yang berhasil, kemudian implementasi program dengan dukungan IMF yang kurang lancar (masalah tuntutan terhadap Gubernur BI dan Menkeu di PTUN, ketidakjelasan pelaksanaan penghapusan monopoli dan penundaan proyek-proyek serta pelaksanaan kebijakan moneter yang seret) dan reaksi pasar yang negatif
10.  proses terjadinya 'letter of intent' kedua, 15 Januari 1998, didahului dengan desakan G7.
11.  reaksi pasar terhadap kemungkinan pencalonan Habibie sebagai Wapres.
12.  pelaksanaan restrukturisasi perbankan dengan pemberian garansi terhadap semua deposito, giro, tabungan dan pinjaman perbankan serta pendirian BPPN.
13.  heboh CBS, usulan Steve Henke, dan implikasi yang ditimbulkan.
14.  keputusan BPPN membekukan 7 bank serta melaksanakan pengawasan intensif terhadap 7 bank lain.
15.  perundingan Pemerintah dengan IMF yang menghasilkan "Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi dan Keuangan", yang ditanda tangani Menko Ekuin pada tanggal 9 April 1998.
16.  pencairan pinjaman tahap ke dua sebesar $1 milyar.
17.  penyelesaian pinjaman swasta dengan berbagai perundingan di Tokyo, New York dan Frankfurt
18. Pengumuman Kabinet Reformasi dan pemberian status independen ke pada Bank Indonesia setelah pergantian Presiden dari Soeharto ke Habibie.

FAKTOR PEMICU KRISIS
Diantara sejumlah penjelasan mengenai penyebab krisis, beberapa faktor dinilai sebagai pemicu atau awal mula timbulnya kondisi yang berbahaya sehingga krisis mulai terjadi dan kemudian berlanjut secara berlarut-larut:
·         Penurunan nilai matauang regional terhadap US dollar, pada tingkat tertentu menggambarkan penyesuaian global nilai tukar valas beberapa negara penting terhadap US dollar, terutama mata uang Yen dan Deutsche Mark yang terjadi sejak 1995.
·         Semakin bertambahnya kerawanan mata uang domestik terhadap goncangan-goncangan dari luar. Ada tiga area yang perlu menjadi perhatian :
(i) Terjadinya penurunan kegiatan export diwilayah ini sejak tahun 1996 membangkitkan kecemasan terhadap defisit rekening berjalan akan semakin buruk sehingga terus menekan nilai mata uang. Penurunan ekspor disebabkan bukan hanya oleh faktor siklikal, tetapi juga oleh faktor struktural yang mengakibatkan penurunan kemampuan bersaing barang-barang ekspor.
(ii) Pembiayaan defisit neraca berjalan juga menambah tingkat risiko regional, karena struktur maturitas aliran modal masuk beralih dari penanaman modal langsung jangka panjang (long term FDI) menjadi aliran dana portofolio dan pinjaman jangka pendek. Akumulasi investasi semacam ini bagi perekonomian domestik sangat berbahaya karena sewaktu-waktu dapat terjadi arus balik.
(iii) Pertambahan pinjaman luar negeri oleh sektor swasta, terutama yang berjangka pendek. Sebelum masa krisis, pinjaman ini dapat terbayar oleh besarnya kemampuan ekspor dan pertumbuhan pendapatan domestik. Selain itu, risiko perubahan nilai tukar valas dapat dikatakan minimal karena selama belum krisis nilai mata uang bertahan stabil.
·         Pada waktu krisis semakin mendalam, perhatian pasar beralih kepada stabilitas sistim perbankan; Kerapuhan sistim perbankan dikawasan ini berkaitan dengan pertumbuhan kredit yang luarbiasa dimana alokasinya banyak cenderung untuk sektor non-perdagangan dan berisiko tinggi, yaitu properti dan pasar saham. Disamping itu terjadi akumulasi pinjaman luar negeri jangka pendek yang digunakan untuk menggerakkan banyak aktivitas ekonomi domestik. Pada waktu kegiatan ekonomi mulai menurun dan tingkat suku bunga domestik melonjak, sektor properti dan perdagangan saham terguncang dan menekan kemampuan pengembalian hutang peminjam domestik, sehingga perbankan terancam mengalami penurunan kualitas asset.
·         Bagaimanapun juga, efek imbasan krisis tidak seluruhnya dapat menjelaskan pergerakan nilai tukar mata uang berbagai negara terhadap US dollar. Kerawanan ekonomi domestik terhadap goncangan dari luar dan kerapuhan sektor perbankan sangat berbeda-beda antar negara di kawasan ini. Perubahan sentimen pasar dan kepercayaan investor juga berperan besar membawa krisis semakin parah. Pada awalnya, kawasan ini menikmati aliran masuk modal besar-besaran selama euforia sedang berlangsung dengan menggeloranya pertumbuhan ekonomi dan pasar aktiva. Prospek adanya perbaikan terus-menerus membawa sikap penilaian risiko yang terlalu rendah, dan kemudian diperkuat lagi oleh persepsi pasar adanya jaminan secara implisit oleh pemerintah. Pada waktu perkembangan berbalik, pasar tiba-tiba mempertimbangkan kembali seluruh situasi ekonomi keuangan di kawasan. Dengan cepat hal ini menyadarkan akan persepsi ancaman yang melonjak, dan langsung merusak sentimen pasar maupun kepercayaan investor. Perilaku "geropyokan" yang semula mendorong aliran modal masuk berbalik menjadi penarikan modal besar-besaran seketika saat krisis berkobar. Semakin parah dalam perkembangan selanjutnya, menjadikan kerawanan pasar finansial seolah lingkaran setan antara kepercayaan dan sentimen buruk, yaitu dengan adanya:
                                      i.        Penurunan peringkat kredit oleh agen-agen pemeringkat internasional
                                    ii.        Ketidak pastian politik mengenai komitmen pelaksanaan kebijakan pemerintah yang drastis untuk menstabilkan kondisi makroekonomi dan reformasi sektor perbankan.
                                   iii.        Tindakan revisi kebawah oleh analis sektor swasta mengenai prospek jangka pendek-menengah bagi ekonomi regional dan sektor perbankan.
                                   iv.        Mulai timbul kesulitan pembayaran hutang oleh sebagian perekonomian kawasan



KEBIJAKAN YANG DITEMPUH SELAMA KRISIS 1997

A.    KEBIJAKAN DI NEGARA REGIONAL
Pada awal krisis upaya menstabilkan mata uang dan menahan tekanan spekulatif di pasar uang dan bursa saham dilakukan dengan intervensi langsung di pasar valas, menaikkan suku bunga dan menerapkan beberapa pembatasan aliran modal serta kontrol devisa. Namun upaya-upaya ini terbukti kurang berhasil menahan depresiasi maupun mengurangi spekulasi di pasar uang dan bursa saham. Intervensi di pasar valas menjadi beban sangat mahal, dan akan berakhir dengan habisnya cadangan devisa pada saat ekspor sedang melemah sehingga tidak dapat diandalkan sebagai sumber pemasukan devisa. Menaikkan suku bunga untuk menopang nilai mata uang berakibat semakin membebani ekonomi yang sedang melemah dan semakin menjatuhkan nilai saham di bursa. Selanjutnya pembatasan lalu lintas devisa merusak kepercayaan pasar, karena tindakan ini diartikan sebagai kebalikan dari komitmen liberalisasi dan adopsi ekonomi pasar bebas. 

Ditengah-tengah berkecamuknya tekanan jual di pasar uang dan bursa saham, pihak yang berwenang mulai berpaling kepada masalah ketidakseimbangan dan kelemahan struktural di sektor ekonomi dan perbankan domestik. Pergeseran titik fokus kebijakan penanggulangan menghasilkan implementasi program stabilisasi yang komprehensif dengan maksud mengembalikan kepercayaan pasar dan investor, dan pada akhirnya mengembalikan stabilitas di pasar uang. Restrukturisasi dan reformasi ekonomi dan sektor perbankan mulai dijalankan sementara fundamental ekonomi diperkuat. Untuk Thailand, Indonesia dan Korea Selatan, upaya ini merupakan bagian dari syarat-syarat bantuan keuangan internasional yang dimotori oleh IMF, dan mengikut sertakan sejumlah badan internasional, yaitu Bank Dunia, ADB, dan negara-negara industri maju dan Asia Pasifik. Paket bantuan keuangan, keseluruhan berjumlah USD118.6 miliar (terdiri dari USD17.2 miliar untuk Thailand, USD43 miliar untuk Indonesia, dan USD58.4 miliar untuk Korea Selatan) disediakan sebagai likuiditas untuk mengisi cadangan devisa negara-negara ini agar dapat memenuhi kewajiban-kewajiban finansial jangka pendek. Filipina melanjutkan partisipasinya dalam program IMF, dan mendapat bantuan dari Bank Dunia serta tambahan dana dari ADB. Sementara itu, Malaysia meluncurkan program penyesuaian makroekonomi swa-karsa, dan menyatakan akan melancarkan tindakan-tindakan untuk memperkuat sektor perbankan. Kebijakan ini dituangkan dalam Anggaran tahun 1998 dan diikuti dengan sejumlah program pelaksanaan. 

Kebijakan penanggulangan krisis oleh negara-negara regional menyangkut unsur-unsur utama seperti berikut:
·         Program stabilisasi makroekonomi melalui pengetatan kebijakan fiskal dan moneter, menyangkut pemotongan pengeluaran, peningkatan pajak, penundaan projek infrastruktur yang tidak mendesak, dan kontrol terhadap pertumbuhan moneter dan kredit, dengan maksud utamamengurangi defisit neraca berjalan dan menurunkan inflasi.
·         Pengaturan liberalisasi dan reformasi berorientasi pasar, terutama dalam perdagangan domestik dan internasional, yang antara lain termasuk penghapusan monopoli, pengendalian harga dan tarif, serta memberikan lebih banyak kebebasan investasi asing dan penyertaan modal dalam perekonomian domestik dan sektor keuangan. 
·         Reformasi dan restrukturisasi di sektor perbankan untuk mengatasi kelemahan di sektor ini. Di Thailand, Indonesia dan Korsel, tindakan ini berakibat penutupan bank-bank dan lembaga keuangan yang insolven, dan lembaga keuangan yang masih bisa bertahan diperbaiki melalui rekapitalisasi dan merger. Dibeberapa negara, dibentuk lembaga baru untuk mengawasi proses restrukturisasi finansial, dan manajemen asset yang buruk. Misalnya Thailand memiliki Financial Restructuring Agency (FRA) dan Asset Management Corporation (AMC), dan di Indonesia dibentuk IBRA (BPPN). Di Malaysia, bank sentral mengkonsolidasikan sektor perbankan melalu merger dan rekapitalisasi lembaga keuangan. Disamping itu kerangka kerja dan peraturan penyehatan diperketat, sesuai dengan standar internasional, terutama dalam hubungan klasifikasi hutang macet serta penyediaan kecukupan modal. Kewajiban keterbukaan untuk memberikan informasi lebih luas juga dipertegas agar transparansi benar-benar dijalankan.
·         Restrukturisasi hutang luar negeri juga menjadi agenda penting dalam kebijakan penanggulangan ekonomi regional yang terkena krisis, karena akibat depresiasi matauang yang tajam telah menjadikan kekurangan likuiditas domestik dan penurunan kegiatan ekonomi menaikkan beban kewajiban bunga dan pembayaran hutang. Pada 28 Januari 1998, Korsel berhasil menyelesaikan perundingan untuk roll over dan penjadwalan kembali pinjaman luarnegeri jangka pendek yang segera jatuh tempo, sementara [pada waktu naskah ini ditulis] perundingan masih berjalan bagi Thailand dan Indonesia.



B.  KEBIJAKAN DI INDONESIA

Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode
1997 - 1999
Sejak Juli 1997 telah terjadi krisis ekonomi moneter yang menggoncang sendi-sendi ekonomi dan politik nasional. Bagi perbankan, krisis telah menimbulkan kesulitan likuiditas yang luar biasa akibat hancurnya Pasar Uang antar Bank (PUAB). Sebagai lender of the last resort BI harus membantu mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan pembayaran untuk mempertahankan kelangsungan ekonomi nasional. Nilai tukar Rupiah terus merosot tajam, pemerintah melakukan tindakan pengetatan Rupiah melalui kenaikan suku bunga yang sangat tinggi dan pengalihan dana BUMN/yayasan dari bank-bank ke BI (SBI) serta pengetatan anggaran Pemerintah. Ternyata kebijakan tersebut menyebabkan suku bunga pasar uang melambung tinggi dan likuiditas perbankan menjadi kering yang menimbulkan bank kesulitan likuiditas. Segera setelah itu masyarakat mengalami kepanikan dan kepercayaan mereka terhadap perbankan mulai menurun. Maka terjadi penarikan dana perbankan secara besar-besaran yang sekali lagi menimbulkan kesulitan likuiditas pada seluruh sistem perbankan. Akibatnya sistem pembayaran terancam macet dan kelangsungan ekonomi nasional tergocang. Untuk itu pada Oktober 1997, pemerintah mengundang IMF untuk membantu program pemulihan krisis di Indonesia. Pada 31 Oktober 1997 disetujui LoI pertama yang merupakan program pemulihan krisis IMF. Pemerintah antara lain menyatakan akan menjamin pembayaran kembali kepada para deposan.
Memasuki 1998 keadaan ekonomi semakin memburuk, nilai Rupiah terhadap Dollar tertekan hingga Rp 16.000 hal tersebut disebabkan pasokan barang yang menurun dengan tajam karena kegitan produksi berkurang dan jalur distribusi terganggu karena rusaknya sentra-sentra perdagangan karena kerusuhan Mei 1998. Pada 15 Januari 1998 Pemerintah mempercepat program stabilisasi dan reformasi ekonomi dengan LoI kedua. LoI kedua diikuti dengan LoI ketiga 8 April 1998 yang mencakup program stabilisasi Rupiah, pembekuan 7 bank dan penempatan nya pada BPPN serta penyelsaian hutang swasta dengan Pemerintah sebagai mediator. Kemudian LoI keempat pada 25 Juni 1998 yang mencakup revisi atas target-target ekonomi dan penyediaan Jaringan Pengaman Sosial (JPS). Selain mengatasi krisis moneter, pemerintah juga juga membantu menyelesaikan pinjaman luar negeri sektor swasta. Diantaranya pemerintah membentuk Tim Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta (TPULNS) yang menghasilkan kesepakatan di Frankfurt pada 4 Juni 1998 tentang penyelesaian utang luar negeri swasta. Masih dalam upaya yang serupa, pemerintah membentuk INDRA (Indonesian Restructuring Assets) yang bertugas melindungi debitur Indonesia dari resiko perubahan nilai tukar pada jumlah hutangnya. Kemudian pada 9 September 1998 pemerintah membentuk Prakarsa Jakarta untuk menyediakan akses bagi perusahaan agar dapat mendaptkan modal baru guna menggerakkan kembali usahanya. Langkah tersebut diambil sebagai bagian dari program restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan.

2. Arah Kebijakan 1997-1999

Globalisasi pasar dunia yang semakin meluas membawa konsekuensi liberalisasi pasar internasional. Kondisi ini mengakibatkan sulitnya mengendalikan moneter terhadap tekanan perekonomian dunia.
Globalisasi pasar dunia yang semakin meluas membawa konsekuensi liberalisasi pasar internasional. Kondisi ini mengakibatkan sulitnya mengendalikan moneter terhadap tekanan perekonomian dunia. Dalam kondisi seperti ini, proses pembentukan harga (nilai tukar mata uang, suku bunga, indeks saham, harga komoditi dlsb) ikut ditentukan oleh perekonomian negara-negara lain. Krisis moneter di beberapa negara Amerika Latin, Eropa Timur dan Asia termasuk Indonesia tidak terlepas dari proses globalisasi pasar dimaksud. Dengan krisis nilai tukar Rupiah terhadap Valas, terutama USD yang terjadi sejak pertengahan 1997, mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap Rupiah, kemudian terhadap perbankan, dan berlanjut terhadap Pemerintah atas penanganan krisis dimaksud. Kebijakan-kebijakan moneter dalam periode ini diarahkan untuk menahan spekulasi valuta asing sekaligus mengamankan cadangan devisa.

3. Langkah-Langkah Strategis 1997-1999

Untuk mengurangi tekanan depresiasi Rupiah, kebijakan-kebijakan moneter yang ditempuh melingkupi berbagai hal, antara lain pelebaran band intervensi, pembatasan transaksi valuta asing oleh perbankan, perubahan system nilai tukar dan pengetatan likuiditas perbankan.
Untuk mengurangi tekanan depresiasi Rupiah, kebijakan-kebijakan moneter yang ditempuh melingkupi berbagai hal, antara lain pelebaran band intervensi, pembatasan transaksi valuta asing oleh perbankan, perubahan system nilai tukar dan pengetatan likuiditas perbankan. Berbagai langkah tidak sepenuhnya berhasil menahan laju depresiasi rupiah karena krisis dimaksud dalam waktu singkat telah berkembang dari semula krisis moneter menjadi krisis ekonomi, krisis sosial budaya, dan krisis politik sehingga menjadi krisis multidimensi.
Kala itu depresiasi rupiah tetap berlangsung hingga pernah mencapai 600% dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, yaitu dari RP. 2.350,- menjadi Rp. 16.000,- per 1 USD. Sementara itu, suku bunga antar bank sempat mencapai 60% per tahun. Akibat lainnya distribusi barang sempat mengalami kemandegan menunggu kestabilan harga dan keamanan, terutama karena terjadi demonstrasi dan
pengerusakkan pusat-pusat perdagangan oleh massa di berbagai kota. Hingga akhir periode ini, pertumbuhan ekonomi menurun 13,7%, harga barang-barang melonjak, perusahaan-perusahaan gulung tikar, pengangguran meningkat dan berberapa fasilitas umum serta pusat perdagangan rusak berat.

4. Kebijakan Devisa di Indonesia 1997-1999

Pada periode ini kebijakan devisa yang dianut masih devisa bebas berdasarkan PP No. 1 tahun 1982 yang kemudian diperkuat dengan Undang-undang No 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Pada periode ini kebijakan devisa yang dianut masih devisa bebas berdasarkan PP No. 1 tahun 1982 yang kemudian diperkuat dengan Undang-undang No 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Dalam Undang-undang tersebut ditetapkan bahwa setiap penduduk bebas memiliki dan menggunakan devisa, namun wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya.
Atas dasar pengaturan tersebut maka Bank Indonesia mewajibkan bank-bank untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan transaksi devisa maupun dalam pengelolaannya. Sementara itu, pemilikan dan
penggunaan devisa oleh masyarakat umum belum diatur system pelaporannya. Berbagai kebijakan pada periode sebelumnya, khususnya dalam rangka pengembangan Penanaman Modal Asing (PMA) maupun pinjaman luar negeri, telah meningkatkan cadangan devisa di awal tahun 1997, apalagi investor asing semakin tertarik menanamkan dana di Indonesia.
Akan tetapi krisis nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing, terutama dollar Amerika sejak Juli 1997, telah mengakibatkan pembelian devisa oleh sektor swasta meningkat tajam sehingga cadangan devisa Indonesia nyaris deficit, padahal jumlah pinjaman luar negeri saat itu cukup besar. Di pihak lain, terdepresiasinya Rupiah yang sangat dalam telah memperlemah daya beli devisa untuk pembayaran utang luar negeri. Kondisi ini salah satu risikonya adalah bahwa letter of credit (1/c) yang diterbitkan oleh bank-bank nasional tidak diterima di luar negeri. Risiko selanjutnya, pasokan barang-barang impor terpenting seperti obat-obatan dan makanan bayi menjadi langka. Untuk mengatasi hal ini maka Bank Indonesia memberikan jaminan tunai atas 1/c-1/c dimaksud.
Namun demikian pinjaman luar negeri tersebut bersifat selektif, yaitu harus memenuhi kriteria-kriteria :
1) Tidak dikaitkan dengan ikatan politik
2) Selalu mengutamakan pinjaman dengan persyaratan ringan
3) penggunaannya disesuaikan dengan rencana pembangunan
4) Senantiasa disesuaikan dengan kemampuan membayar kembali.


5. Kebijakan nilai tukar di Indonesia 1997-1999

Sejak awal paruh kedua Juli 1997, nilai tukar Rupiah terdepresiasi terhadap valuta asing, terutama USD. Demikian cepatnya proses penurunan Rupiah tersebut terjadi sehingga menimbulkan kepanikan pasar. Sejak awal paruh kedua Juli 1997, nilai tukar Rupiah terdepresiasi terhadap valuta asing, terutama USD. Demikian cepatnya proses penurunan Rupiah tersebut terjadi sehingga menimbulkan kepanikan pasar. Berbagai kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia tidak berhasil menghentikan laju penurunan nilai tukar tersebut, baik dalam bentuk pelebaran band intervensi, pengetatan likuiditas perbankan maupun moral suasi kepada para pelaku pasar. Untuk menyelamatkan cadangan devisa maka pada tanggal 14 Agustus 1997 band intervensi dilepas dan selanjutnya Indonesia menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang hingga sekarang. Sistem ini kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang No.23 dan 24 Tahun 1999. Dalam Undang-undang tersebut ditetapkan bahwa sistem nilai tukar di Indonesia ditetapkan oleh Pemerintah setelah mendengar rekomendasi dari Bank Indonesia. Hal ini dilakukan karena sistem nilai tukar akan berdampak sangat luas, tidak saja terhadap kegiatan bidang moneter dan sektor keuangan, tetapi juga kegiatan ekonomi riil.

6. Kebijakan hutang luar Negeri 1997-1999
Melemahnya nilai tukar rupiah yang berkepanjangan mengakibatkan beban pembayaran hutang luar negeri meningkat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagian hutang luar negeri swasta tidak dilindungi nilai, penggunaan hutang jangka pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang, serta hutang luar negeri yang dipergunakan untuk pembiayaan usaha yang berorientasi domestik. Melemahnya nilai tukar rupiah yang berkepanjangan mengakibatkan beban pembayaran hutang luar negeri meningkat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagian hutang luar negeri swasta tidak dilindungi nilai, penggunaan hutang jangka pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang, serta hutang luar negeri  yang dipergunakan untuk pembiayaan usaha yang berorientasi domestik. Di samping itu, melemahnya nilai tukar juga menurunkan kepercayaan kreditur terhadap kemampuan debitur untuk membayar kembali hutang-hutangnya. Akibatnya, sektor swasta mengalami kesulitan mendapatkan roll over bagi utang yang jatuh tempo dan mengakibatkan krisis hutang swasta. Kebijakan yang ditempuh dalam penyelesaian hutang luar negeri swasta, tim penyelesaian hutang luar negeri swasta yang didukung oleh Pemerintah melakukan serangkaian perundingan dengan kreditur luar negeri yang diwakili oleh Bank Steering Committee. Perundingan yang dilakukan di Frankfurt pada 4 Juni 1998 mencapai kesepakatan mengenai penyelesaian pinjaman antara bank, pinjaman perusahaan swasta dan pembiayaan perdagangan. Penyelesaian utang antar bank dilakukan melalui program pertukaran hutang antarbank (exchange offer). Pada tahap pertama pinjaman yang dipertukarkan adalah pinjaman yang jatuh waktu sampai dengan 31 Maret 1999 yang dijadwalkan kembali menjadi pinjaman baru dengan maksimum jatuh waktu 4 tahun. Jumlah pinjaman bank nasional kepada kreditur luar negeri yang sudah dipertukarkan mencapai USD3 miliar dengan melibatkan 41 bank peserta. Dari jumlah tersebut, yang dijadwalkan kembali dengan jatuh waktu 1 tahun sebesar 13,3%, 2 tahun 26,6%, 3 tahun 48,0%, dan 4 tahun 12,1%.  Berkaitan dengan penyelesaian hutang luar negeri jangka pendek perusahaan swasta, Pemerintah membentuk INDRA yang berfungsi sebagai lembaga perantara antara perusahaan debitur dan kreditur luar negeri. Dalam perkembangannya, INDRA melakukan penyesuaian atas skim-skim kredit tersebut. Berkaitan dengan program INDRA, Pemerintah membentuk Satuan Tugas Prakarsa Jakarta yang berfungsi sebagai fasilitator bagi perusahaan-perusahaan yang menghadapi masalah dalam menyelesaikan pinjamannya sehingga debitur dapat memilih untuk mengikuti program INDRA atau memilih cara lain, seperti debt to equity swap dan upaya penyelesaian di luar pengadilan. Dalam pelaksanaannya sampai dengan akhir tahun 1998 satuan tugas tersebut telah menangani 122 kasus dengan nilai utang sebesar USD15,5 milyar. Dalam hal hutang luar negeri sektor pemerintah, dilakukan upaya restrukturisasi melalui penandatanganan MOU Paris Club pada 23 September 1998 dengan kreditur yang diwakili oleh 17 negara donor. Perjanjian tersebut menandai adanya penjadwalan kembali kewajiban pembayaran utang pokok yang jatuh tempo dalam masa konsolidasi, yakni terhitung sejak awal Agustus 1998 hingga akhir Maret 2000. Berdasarkan MOU Paris Club, pinjaman yang akan direstrukturisasi berjumlah USD4,2 milyar, terdiri dari pinjaman lunak sebesar USD1,2 milyar dan fasilitas kredit ekspor sebesar USD3 milyar. Pinjaman lunak dijadwalkan kembali atau dibiayai dengan pinjaman baru berjangka waktu 20 tahun, termasuk masa tenggang 5 tahun dengan tingkat bunga yang berlaku bagi pinjaman lunak. Fasilitas kredit ekspor dibiayai kembali atau dijadwalkan dengan jangka waktu 11 tahun, termasuk masa tenggang 3 tahun dengan tingkat bunga pasar.


KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO YANG DILAKUKAN OLEH BI DARI SISI MONITER YANG SIFATNYA MENDESAK

Upaya penyehatan dan permberdayaan sektor perbankan telah menyita perhatian yang sangat besar, tidak hanya dari segi waktu dan tenaga yang dicurahkan tetapi juga dari segi biaya yang dikeluarkan. Hal ini dikarenakan pentingnya peranan perbankan dalam proses kebangkitan ekonomi secara keseluruhan. Di samping peranannya dalam penyelenggaraan transaksi pembayaran nasional dan internasional serta menjalankan fungsi intermediasi (penyaluran dana dari penabung/pemilik dana ke investor), sektor perbankan juga berfungsi sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Dengan industri perbankan yang pada umumnya mengalami kesulitan, transmisi kebijakan moneter melalui sektor perbankan tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Hal ini mengakibatkan kebijakan moneter kurang efektif dalam mencapai sasarannya. Dengan demikian, sangat sulit dibayangkan format pemulihan ekonomi nasional melalui program stabilisasi makroekonomi apabila sektor perbankan tetap berada dalam kesulitan yang parah. 
Upaya pemberdayaan perbankan dapat dikelompokkan ke dalam empat aspek, yaitu rekapitalisasi bank-bank, restrukturisasi kredit perbankan, pengembangan infrastruktur perbankan, dan penyempurnaan pelaksanaan fungsi pengawasan bank.

Aspek Pertama,  rekapitalisasi bank-bank.  Mengingat kondisi permodalan bank-bank sudah demikian parah sebagai akibat dari krisis ekonomi, sebagaimana telah diuraikan di muka, langkah strategis pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki permodalan tersebut.  Kebijakan rekapitalisasi ini disusun dalam suatu paket, yang terdiri dari:

  • Rekapitalisasi bagi bank-bank yang viable untuk dapat menjadi sehat dan mencapai rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio –CAR) minimum sebesar 8% pada tahun 2001. Bank-bank ini dinyatakan lulus dari tiga buah test yang sangat ketat meliputi kondisi keuangan, integritas pemilik dan manajemen, serta renca kerja untuk tiga tahun.
  • Pembersihan bank-bank dari pemilik dan pengurus yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pemilik dan pengurus yang baik (tidak fit and proper).
  • Penutupan bagi bank-bank yang diperkirakan tidak akan mampu bertahan.
  • Penyelesaian aset-aset bank-bank yang ditutup.
  • Penyelesaian bagi kredit macet perbankan, dengan mengalihkan ke  Aset Management Unit dan menghapusbukukan dari bank-bank yang direkapitalisasi.

Dalam melaksanakan rekapitalisasi perbankan dibutuhkan biaya dalam jumlah besar. Dana tersebut dapat datang dari sektor swasta dan dari pemerintah. Penambahan modal dari sektor swasta dapat datang dari pemodal domestik maupun pemodal asing. Yang paling baik adalah dari pemodal domestik karena kepemilikan bank-bank oleh pihak domestik akan lebih memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Namun, akibat  krisis ekonomi hal yang ideal ini sulit dicapai karena sektor swasta nasional sedang mengalami kesulitan likuiditas. Untuk ini maka peranan investor asing menjadi penting. Dengan masuknya investor asing dalam perbankan nasional maka kepercayaan luar negeri terhadap perekonomian Indonesia akan meningkat. 
Aspek  kedua adalah restrukturisasi kredit. Aspek ini sangat menentukan keberhasilan program rekapitalisasi perbankan dan program penyehatan ekonomi secara keseluruhan. Kegiatan ini didasarkan pada ketentuan restrukturisasi kredit bulan November 1998 dan berlaku bagi bank-bank yang ikut dalam program rekapitalisasi, baik bank-bank pemerintah, BPD, maupun bank-bank swasta nasional. Restrukturisasi kredit yang dilakukan melalui prakarsa Bank Indonesia ini melengkapi restrukturisasi kredit dan aset perbankan lainnya yang dilakukan oleh BPPN. Restrukturisasi kredit, yang pada hakekatnya merupakan bagian utama dari retrukturisasi dunia usaha ini, diharapkan dapat memperbaiki pembukuan bank, dan sekaligus menggairahkan para debiturnya untuk kembali berproduksi, yang berarti menggerakkan sektor riil.
Aspek ketiga adalah pengembangan infrastruktur perbankan, untuk meningkatkan daya tahan bank-bank dalam menghadapi berbagai gejolak. Salah satu sarana yang  sedang disiapkan adalah pendirian Lembaga Penjamin Simpanan, yang akan  menggantikan program penjaminan pemerintah yang pada waktu ini berlaku dan akan berakhir pada bulan Januari 2000. Sarana lain adalah pengembangan bank syariah, yang pada dirinya dapat diharapkan mempunyai daya tahan yang lebih baik menghadapi masamasa krisis, dan dengan demikian dapat memperkuat sistem perbankan secara keseluruhan. 
Khusus mengenai bank syariah perlu dikemukan bahwa pengalaman selama krisis  ekonomi ini memberikan suatu pelajaran berharga bagi kita bahwa prinsip  risk sharing (berbagi risiko) atau profit and loss sharing (bagi hasil), sebagaimana yang terdapat pada sistem bank berdasarkan prinsip syariah, merupakan suatu prinsip yang dapat berperan meningkatkan ketahanan satuan-satuan ekonomi. Dalam hal ini, prinsip bagi hasil atau berbagi risiko antara pemilik dana dan pengguna dana sudah diperjanjikan secara jelas dari awal, sehingga jika terjadi kesulitan usaha karena krisis ekonomi, misalnya, maka risiko kesulitan usaha tersebut otomatis ditanggung bersama oleh pemilik dana dan pengguna dana. Dengan demikian kesulitan ekonomi akan relatif lebih ringan terasa oleh perorangan dan badan usaha secara individual sehingga kebangkitan kembali ekonomi dapat diharapkan berlangsung lebih cepat.
Aspek  keempat yang tidak kalah pentingnya adalah menyempurnakan  pelaksanaan fungsi pengawasan bank, yaitu dengan lebih mengutamakan penegakan aturan (law enforcement) dan dengan meningkatkan frekuensi pemeriksaan bank yang difokuskan pada resiko yang dihadapi oleh setiap bank.  Keempat aspek dalam rangka restrukturisasi perbankan tersebut berjalan simultan.  Melalui berbagai upaya ini diharapkan kelemahan sistem perbankan yang selama ini menjadi sumber dari beratnya kerusakan ekonomi akibat krisis akan berangsur-angsur hilang sehingga kita akan memiliki sistem perbankan yang mempunyai ketahanan yang tinggi.


Vendrian Dinata.

2 komentar:

  1. Saya Widaya Tarmuji, saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah TRACY MORGAN LOAN FIRM. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir 32 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

    Tapi Tracy Morgan memberi saya mimpi saya kembali. Ini adalah alamat email yang sebenarnya mereka: tracymorganloanfirm@gmail.com. Email pribadi saya sendiri: widayatarmuji@gmail.com. Anda dapat berbicara dengan saya kapan saja Anda inginkan. Terima kasih semua untuk mendengarkan permintaan untuk saran saya. hati-hati

    BalasHapus
  2. PELUANG LAIN LAGI, APAKAH ANDA BISNIS MAN / WOMAN, A PEKERJA DI ORGANISASI, Wiraswasta? Membutuhkan pinjaman pribadi untuk bisnis tanpa stres, Jika demikian, hubungi kami hari ini, kami menawarkan pinjaman pada tingkat bunga rendah dari 2%, Anda dapat melanjutkan tahun ini dengan senyum di wajah Anda, keselamatan, kebahagiaan pelanggan kami adalah kekuatan kita . Jika Anda tertarik, mengisi formulir aplikasi pinjaman di bawah ini:
    Informasi Peminjam:

    Nama lengkap: _______________
    Negara: __________________
    Sex: ______________________
    Umur: ______________________
    Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
    Durasi Pinjaman: ____________
    Tujuan pinjaman: _____________
    Nomor ponsel: ________

    Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami sekarang melalui email: mariasednerloanfirm@gmail.com

    BalasHapus