Selasa, 16 November 2010

EKONOMI ISLAM

Distribusi Negara Dalam Sistem Ekonomi Islam
  
A. Pendahuluan
Berawal dari beberapa pemikiran yang mengemukakan didalam proses terciptanya distribusi yang banyak di bahas oleh para ekonom dan pemikir muslim, terwujud konsep dasar dari makna dan tujuan distribusi dalam ekonomi Islam. Namun yang perlu diperhatikan dan menjadi tinjauan selanjutnya adalah apakah konsep dari distribusi tersebut sudah dijalankan dengan baik dalam sistem ekonomi suatu negara yang ada saat ini? Yang tentunya kembali dipertanyakan bagaimana negara dapat meningkatkan pendapatannya, baik di bidang produksi maupun dari aset negara yang dimiliki, melihat kepada adanya korelasi yang erat antara produksi dan distribusi dalam sistem ekonomi yang dikembangkan (tidak hanya) di negara kita.

Makalah ini mencoba untuk membandingkan pendistribusian yang diterapkan oleh negara-negara berkembang, khususnya negara-negara muslim. Masalah ini banyak dijadikan topik perbincangan dan diskusi oleh para pakar ekonomi baik pada tongkat nasional maupun internasional. Perlu kiranya dikemukakan di sini, bahwa makalah yang penulis paparkan ini lebih merujuk pada pemikiran Anas Zarqa, Mahfooz Ahmad serta Abidin Ahmad Salama (dalam buku mereka yang berjudul  “Reading in Public Finance in Islam  yang di edit oleh : Mahmoud A. Gulaid dan Muhammed Aden Abdullah) di mana ketiga penulis lebih banyak menyorot dan mengkaji uraian-uraian yang berkenaan dengan distribusi. Namun demikian dapatlah dimaklumi kiranya, bahwa dalam pembahasan makalah ini nantinya tidak semua pembahasan difokuskan dari pemikiran ketiga penulis di atas. Hal ini dimaksudkan agar makalah ini tidak hanya terpaku pada beberapa persoalan yang ada dan berkembang dari ketiga pemikir di atas, akan tetapi ia lebih bersifat universal sehingga diharapkan makalah ini dapat mewakili berbagai penjelasan yang menyangkut distribusi.


B.  Pengertian Distribusi
Secara lebih eksplisit dalam dalam al-Qur’an telah dijelaskan apa yang dimaksud dengan distribusi, yaitu sebagaimana firman Allah berikut ini :
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الَصلوةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (al-Baqarah : 3)

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمْ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar hanya di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukum-Nya. (al-Hasyr : 7)

Selain itu, dapat penulis kemukakan pula bahwa segala yang ada di langit ataupun di bumi adalah milik Allah swt, akan tetapi semua itu akan kembali pada bagaimana manusia mengelola sumber daya tersebut. Lebih jauh lagi yang dimaksudkan ialah bagaimana sebuah negara mampu mengelolanya, dan selanjutnya mendistribusikannya kembali pada masyarakat. Hal di atas, sesuai dengan firman Allah dalam surat Hud ayat 61, berikut :
هُوَ أَنشَأَكُمْ مِنْ الأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ
Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya”.
Dari ayat di atas jelaslah bahwa di samping adanya partisipasi dari masyarakat untuk mengelola sumber daya yang ada, maka negarapun memiliki peranan yang penting dalam mengalokasikan dan mendistribusikan pendapatan yang ada pada masyarakatnya.

     Senada dengan pendapat di atas, Afzalur Rahman mengemukakan bahwa untuk mencapai keadilan ekonomi yang ideal dalam masyarakat, maka Islam menawarkan suatu gagasan di mana nilai atau usaha untuk menumbuhkan semangat diantara penganutnya berupa kesadaran (keyakinan) bahwa bantuan ekonomi kepada sesama (dengan niat mencari keridhaan Allah semata) merupakan tabungan nyata dan kekal yang akan dipetik hasilnya di hari akhirat kelak. (Rahman, 1995 : 96)

     Distribusi di tinjau dari segi kebahasaan berarti proses penyimpanan dan penyaluran produk kepada pelanggan, diantaranya sering kali melalui perantara. (Collins, 1994 : 162)       Definisi yang dikemukakan Collins di atas, memiliki pemahaman yang sempit apabila dikaitkan dengan topik kajian di bahas. Hal ini disebabkan karena definisi tersebut cenderung mengarah pada prilaku ekonomi yang bersifat individual. Namun dari definisi di atas dapat di tarik suatu pemahaman, di mana dalam distribusi terdapat sebuah proses pendapatan dan pengeluaran dari sumber daya yang dimiliki oleh negara (mencakup prinsip take and give).

     Adapun prinsip utama dalam konsep distribusi menurut pandangan Islam ialah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan, sehingga kekayaan yang ada dapat melimpah dengan merata dan tidak hanya beredar di antara golongan tertentu saja. (Rahman, 1995 : 93)

     Selain itu, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa posisi distribusi dalam aktifitas ekonomi suatu pemerintahan amatlah penting, hal ini dikarenakan distribusi itu sendiri menjadi tujuan dari kebijakan fiskal dalam suatu pemerintahan (selain fungsi alokasi). Adapun distribusi, seringkali diaplikasikan dalam bentuk pungutan pajak (baik pajak yang bersifat individu maupun pajak perusahaan). Akan tetapi masyarakat juga dapat melaksanakan swadaya melalui pelembagaan ZIS, di mana dalam hal ini pemerintah tidak terlibat langsung dalam mobilisasi pengelolaan pendapatan ZIS yang diterima. (Karim, 1992 : 89-90)

     Sementara Anas Zarqa mengemukakan bahwa definisi distribusi itu sebagai suatu transfer dari pendapatan kekayaan antara individu dengan cara pertukaran (melalui Pasar) atau dengan cara lain, seperti warisan, shadaqah, wakaf dan zakat. (Zarqa, 1995 : 181)

     Dari definisi yang dikemukakan oleh Anas Zarqa di atas, dapat diketahui bahwa pada dasarnya ketika kita berbicara tentang aktifitas ekonomi di bidang distribusi, maka kita akan berbicara pula tentang konsep ekonomi yang ditawarkan oleh Islam. Hal ini lebih melihat pada bagaimana Islam mengenalkan konsep pemerataan pembagian hasil kekayaan negara melalui distribusi tersebut, yang tentunya pendapatan negara tidak terlepas dari konsep-konsep Islam, seperti zakat, wakaf, warisan dan lain sebagainya.

C.  Sumber Pendapatan Negara
Sebelum membahas tentang macam-macam sumber pendapatan negara, di bawah ini akan penulis kemukakan beberapa pembahasan yang menyangkut kriteria-kriteria yang mendukung terwujudnya distribusi dalam aktifitas ekonomi suatu negara. Hal ini berdasarkan pada asumsi sementara penulis yang cenderung menilai bahwa distribusi tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa di topang oleh kriteria-kriteria yang merupakan pondasi kuat bagi perwujudan distribusi.

Adapun kriteria yang mendukung terwujudnya distribusi tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Anas Zarqa, meliputi :

  1. Pertukaran. Kriteria ini lebih mengacu pada konsep di mana orang berhak mengeluarkan pendapatannya untuk didistribusikan kepada orang lain. Sehingga implikasi yang mengemukakan kemudian ialah adanya pondasi yang solid dalam menunjang terbentuknya kemanusiaan yang adil.
  2. Kebutuhan. Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini lebih pada nilai keadilan di mana pendistribusian tersebut haruslah disesuaikan dengan tingkat kebutuhan masing-masing individu.
  3. Kekuasaan atau Negara, dengan lebih merujuk pada prinsip ini, bagaimana peran kekuasaan atau negara turut mewarnai pendistribusian kekayaan negara secara lebih merata.
  4. Norma-norma yang berkaitan dengan nilai sosial atau sistem yang sesuai dengan etika. Ketiga kriteria yang telah dipaparkan hendaknya lebih mengarah pada norma-norma sosial atau mengarah pula pada nilai etika yang berkembang di masyarakat. Di antara contohnya adalah alokasi pendistribusian dari bagian pendapatan nasional hendaknya lebih diarahkan pada beberapa ilmuan atau bisa pula dikategorikan disini dengan ulama, selain itu alokasi modal hendaknya lebih mengarah pada otoritas publik guna mewujudkan peningkatan keuntungan (pendapatan) masyarakat dan masih banyak lagi uraian mengenai pentingnya distribusi yang berlandaskan pada nilai-nilai etika. (Zarqa, 1995 : 182-184)
Senada dengan beberapa uraian di atas (prinsip keadilan dan pemerataan distribusi), Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa perbedaan pendapatan dan pemerataan kesempatan termasuk pula dalam prinsip keadilan, berdasarkan firman Allah :
 هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ? (az-Zumar : 9)      

Untuk selanjutnya hal ini dikemukakan berdasarkan faktor yang turut mempengaruhi proses pendistribusian dari perbedaan pendapatan, adapun yang dimaksudkan dengan faktor tersebut semata-mata merupakan karunia yang diberikan Allah tanpa adanya campur tangan manusia, sedangkan pada bagian lain lebih pada nilai usaha yang dilakukan seseorang. (Qardhawi, 1995 : 398)

Adapun sumber pendapatan negara terutama dalam ekonomi Islam, lebih banyak di tinjau dari prospek sejarah. Hal ini penulis kemukakan melihat pada beberapa pokok pembahasan yang banyak berlaku di masa awal-awal berkembangnya Islam dan masa-masa pemerintahan khulafah al-Rasyidin. (Salama, 1995 : 115)

Sebelum membahas lebih jauh tentang pembahasan yang menyangkut keadilan penulis menganggap perlu untuk mengajak pembaca pada pola distribusi yang diterapkan oleh khalifah Umar Ibn al-Khattab r.a, di mana konsep distribusi menurut nya adalah :
Berkenaan dengan harta yang bergerak, maka Umar melaksanakan hukum Allah yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Di mana ia mengambil seperlimanya (khums) untuk selanjutnya membagikan empat perlima lainya kepada masing-masing tentara yang turut membela panji Islam (ikut perang). Akan tetapi, berkenaan dengan tanah-tanah pertanian, Umar berpendapat bahwa tanah-tanah itu harus di sita dan tidak dibagi-bagikan. Lalu dibiarkan, seolah-olah tanah tersebut milik negara di tangan pemilik aslinya (warga setempat), kemudian mereka ini dikenakan pajak (kharaj), selanjutnya hasil pajak ini dibagi-bagikan kepada keseluruhan orang-orang muslim setelah disisihkan dari gaji tentara yang ditempatkan pada pos-pos pertahanan (seperti Basrah dan kuffah di Iraq) dan negeri-negeri yang terbebaskan. Akan tetapi kebanyakan Sahabat menolak. Namun yang menjadi catatan di sini adalah bagaimana pandangan khalifah Umar Ibn al-Khattab yang menyatakan bahwa negeri-negeri yang dibebaskan tersebut memerlukan tentara pendudukan yang tinggal di sana yang mana tentara tersebut memerlukan ongkos. Maka jika tanah-tanah itu habis dibagikan, lalu bagaimana para tentara itu mendapatkan logistik mereka. (Madjid, 2000 : 392-393)

Uraian di atas merupakan sedikit dari banyaknya contoh dan penjelasan yang sampai kepada kita, betapa pendistribusian kekayaan negara haruslah dilaksanakan dengan beberapa pertimbangan yang matang dan penuh dengan perhitungan. Sehingga konsep keadilan yang dicita-citakan dapat benar-benar terwujud dan dirasakan oleh masyarakat, yang secara tidak langsung hal tersebut sedikit membentengi peredaran kekayaan dikalangan tertentu saja.

Kembali pada pembahasan mengenai sumber pendapatan Islam, Mannan juga mengemukakan beberapa aspek pembayaran dalam sistem ekonomi Islam, yang meliputi zakat, jizyah (pajak yang dikenakan pada non-muslim sebagai imbalan untuk jaminan yang diberikan negara Islam pada mereka guna melindungi kehidupannya, harta benda dan lain sebagainya), kharaj (pajak bumi), ghanimah (rampasan perang), pajak atas pertambangan dan harta Qarun, serta bea cukai dan pungutan. Secara tegas Mannan membandingkan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara zakat dan jizyah, di mana zakat di pungut dari kaum muslim, sementara jizyah dan rikaz di pungut dari non muslim. Akan tetapi bukan berarti zakat merupakan pajak religius, sementara jizyah dan kharaj merupakan pajak sekuler. Hal ini disebabkan negara Islam dikategorikan sebagai negara sekuler. Selain itu, ada pula hal menarik yang dikemukakan oleh Mannan, di mana terdapat perbedaan tentang sifat pajak yang dikenakan pada pertambangan atau harta Qarun. Di mana menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, pajak ini dianggap sebagai zakat, sementara golongan Hanafi lebih cenderung mengkategorikan persoalan di atas sebagai harta rampasan perang. (Mannan, 1993 : 247-256)

Mengenai beberapa pembahasan tentang sumber pendapatan negara, Zarqa lebih cenderung memisahkan antara zakat dan zakat al-fitr sebagai sumber pendapatan negara. Hal ini berlandaskan pada perhitungan pembayaran zakat al-fitr yang pembayarannya cenderung sebatas satu hari saja (pada hari raya idul fitri) dan hanya disalurkan pada golongan orang-orang yanng miskin dan tidak mampu saja. (Zarqa, 1995 : 198)

   Zarqa juga mengemukakan perbedaan pendapat mengenai kerjasama dalam hak kepemilikan antara muslim dan non-muslim. Hal ini terlihat dari hadits Nabi yang dikutip Zarqa dari Bulughul Maram karangan Ibnu Hajar, di mana Nabi bersabda, Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu : air, rumput dan api.  Ada pula yang menambahkan garam sebagai salah satu bagian dari perserikatan muslim tersebut. Kiranya perlu menjadi perbandingan di sini dengan apa yang diriwayatkan dari Ahmad dan Abu Daud, di mana mereka cenderung memulai hadits tersebut dengan kalimat muslim dan bukan muslim. Selain itu dikemukakan pula perbedaan pendapat mengenai kebolehan mengelola barang tambang. Di mana Imam Malik mengemuka-kan bahwa barang tambang, meskipun milik pribadi tetap dianggap sebagai milik seluruh muslim, karena barang tambang tersebut tidak tampak dipermukaan. Sementara itu, Imam Syafi’i mengemukakan bahwa barang tambang tersebut adalah milik pribadi apabila di kelola oleh perorangan (muslim atau non-muslim). Sementara Zarqa cenderung berpendapat sebagaimana pendapatnya Imam Syafi’i. (Zarqa, 1995 : 185-186)

Kiranya perlu pula diperhatikan ketentuan yang menyangkut kepemilikan jika di tinjau dari unsur waktu atau masa. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mannan, di mana kebolehan memiliki tanah yang telah di kelola dari tanah yang telah disia-siakan (mawat) dalam jangka waktu tiga tahun. Berbeda dengan hukum Perancis yang membatasi kepemilikan tersebut selama 15 tahun, terlepas dari apakah tanah tersebut produktif atau tidak produktif. (Mannan, 1993 : 80)

Sebagai perbandingan beberapa uraian di atas dapat pula dikemukakan pendapat an-Nabhani yang mendasarkan kebolehan pemilikan tanah yang disia-siakan (tanah mati) berdasarkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Umar dari Rasulullah saw yang bersabda : “Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati maka tanah tersebut adalah hak miliknya”. Dengan kata lain disebutkan disini, bahwa kebolehan pemilikan tanah mati tersebut berlaku pada muslim maupun non-muslim, karena hadits itu sendiri bersifat mutlak. (an-Nabhani, 1996 : 136)

Uraian di atas lebih menggambarkan proses terwujudnya pendapat tentang kerjasama dalam pengelolaan kekayaan negara antara muslim dan non-muslim dalam sebuah negara. Terlepas dari semua itu, kiranya penulis sependapat, jika kepemilikan tanah dibolehkan bagi orang yang telah mengelola tanah mati tersebut, ketika tanah mati itu memiliki nilai produktif. Penulis beralasan, bahwa gugurnya atau berpindahnya unsur kepemilikan lebih disebabkan oleh nilai ihya (usaha) dari seseorang untuk mengelola tanah yang disia-siakan. Lebih jauh lagi, bukanlah usaha menghidupkan tanah mati tersebut, cenderung menuju pada peningkatan aktifitas ekonomi yang berlandaskan nilai memakmurkan bumi, sehingga muncullah implikasi yang lebih mengarah pada nilai ibadah kepada Allah swt.

Air juga dapat diberikan atau dibagikan untuk air minum (shafah) bagi masyarakat umum dan hewan atau ternak. Di samping itu, kiranya perlu juga dilakukan irigasi (pengairan) jika kadar air yang dimiliki seseorang telah berlebihan.  Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengambil keuntungan dari kelebihan air meskipun untuk pengairan tanah pertanian. Sebagai perbandingan dari apa yang dikemukakan oleh Imam Ahmad, ketiga mazhab lain membolehkan kepada masyarakat untuk menuntut atau meminta harga air atas kelebihan (surplus) air. (Zarqa, 1995 : 189)

Untuk jelasnya, Zarqa mengemukakan bahwa hal yang mendorong dibolehkannya kepemilikan adalah investasi yang pasti dari pengelolaan sumber daya alam (SDA), peningkatan produktifitas dan usaha untuk memperoleh keuntungan. (Zarqa, 1995 : 187)

Selain itu, penulis juga mencoba untuk menyepadankan atau menyamakan barang tambang tersebut dengan air. Mayoritas ahli hukum berpendapat bahwa air yang terdapat di dasar tanah (seperti mata air, kemudian mata air itu digali dengan biaya dan usaha si-pemilik tanah). Namun si-pemilik tanah tidaklah berhak untuk memiliki, karena semua orang bekerjasama dalam hal ini. Dalam hal ini kelihatan sekali, bahwa pertimbangan ekonomi sangatlah mendukung pendapat Imam Ahmad dalam kewajiban memberikan kelebihan air sebagai sebuah kompensasi, meskipun untuk pengairan tanah pertanian.

Aturan dan pemikiran ekonomi dalam perubahan di atas, mengarahkan kita kepada kesimpulan, bahwa pemilik air (sumur) harus menyediakan air minum kepada masyarakat selain juga menyediakan air untuk di jual bagi irigasi ataupun dengan maksud dan tujuan komersial lainnya.

D. Keadilan Dalam Distribusi dan Campur Tangan Negara
          Sebelum penulis membahas tentang konsep distribusi dan keadilan, kiranya perlu penulis kemukakan di sini bagaimana konsep distribusi itu sendiri dalam pandangan kapitalisme maupun sosialisme. Kaum sosialisme mengecam masyarakat kapitalis karena di dalam masyarakat kapitalis, kekayaan dan kemewahan hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja, sedangkan mayoritas masyarakatnya adalah masyarakat miskin. Di samping itu terdapat praktek monopoli yang besar dan amat merugikan masyarakat dalam sistem kapitalis. Pada dasarnya, kritik kaum sosialis terhadap kapitalis tidak dapat disalahkan. Akan tetapi mereka memerangi kebatilan dengan hal yang lebih batil. Di mana mereka yang bersandarkan pada kekuasaan sosialisme melakukan kegiatan monopoli yang lebih buruk dan lebih parah dari monopoli kapitalisme. Hal ini terlihat, di mana monopoli negara yang menguasai semua sarana produksi seperti tanah, pabrik, ladang pertambangan dan sebagainya. Bahkan dalam sosialisme terdapat jurang perbedaan dalam soal upah, di mana pada tahun 1962 upah tersebut mencapai perbandingan (1-50), yaitu gaji tertinggi sama dengan lima puluh kali lipat dari gaji kecil di Rusia. (Qardhawi, 1995 : 348-349)

          Tepat kiranya, jika kemudian penulis katakan (terlepas dari unsur normatif) bahwa Islam benar-benar hadir sebagai agama yang penuh rahmat dan barakah. Hal ini terlihat dari konsep ekonomi Islam yang sama sekali mengharamkan riba. Sehingga harta yang beredar dikalangan umat Islam benar-benar diharapkan menjadi harta yang bersih, dan lebih membawa pengguna harta tersebut pada nilai ibadah kepada Allah swt.

          Berbicara masalah perbedaan ekonomi, maka Mahfuzd Ahmad coba menawarkan beberapa solusi (menurut ajaran Islam) yang beliau yakini mampu memecahkan permasalahan dari perbedaan-perbedaan dalam aktifitas ekonomi yang ada. Adapun solusi yang ditawarkan tersebut, diantaranya dikemukakan bahwa keadilan distribusi dalam Islam tidak hanya terbatas pada konsep teori saja akan tetapi harus diimplikasikan perwujudannya terhadap seluruh lingkungan hidup. Selain itu, keadilan dalam distribusi haruslah bersifat fleksibel dalam kerangka kebijakan yang fundamental guna memecahkan masalah ketidak-merataan dan ketidak-adilan. (Ahmad, 1995 : 237)

          Senada dengan uraian di atas, Yusuf Qardhawi secara gamblang menggambar-kan tentang bagaimana konsep keadilan yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini terlihat di antara beberapa pembahasan yang ia kemukakan bahwa maksud dari keadilan itu diantaranya, adalah keterpautan antara manusia dalam pendapatan yang berdasarkan unsur kesetia-kawanan sosial (takaful) yang menyeluruh. (Qardhawi, 1995 : 411) Hal ini disebabkan adanya prinsip keadilan yang disodorkan Islam melalui kewajiban pada masyarakatnya untuk tidak membiarkan kaum yang lemah hingga mereka tidak merasa sebagai kaum yang terinjak-injak. Yang selanjutnya terdapat pula kewajiban bagi masyarakat muslim untuk membimbing kaum yang lemah, hingga mereka menjadi orang-orang yang kuat dan mandiri.

          Terlepas dari beberapa uraian di atas, Zarqa mengemukakan beberapa aksioma dalam distribusi Islam. Adapun aksioma distribusi tersebut meliputi :

  1. Seluruh masyarakat bekerjasama dalam mengelola sumber kekayaan alam yang dimiliki oleh negara.
  2. Seluruh masyarakat bekerjasama dalam mengelola dan meningkatkan kekayaan publik.
  3. Dianjurkan (pada suatu waktu diwajibkan) bagi orang yang memiliki keuntungan dari kekayaan yang nyata untuk mengeluarkan sebagian dari hartanya (lebih pada unsur shadaqah).
  4. Sumber-sumber yang tersedia bagi masyarakat muslim bukan merupakan usaha khusus dari setiap orang dan tidak di atur dari kepemilikan aset pribadi, akan tetapi ditentukan oleh undang-undang fa’i serta dibebankan kepada perbendaharaan publik.
  5. Masyarakat kemungkinan mengurangi sumber pendapatan pribadi dari sebuah kelompok yang disalurkan melalui fa’i. Adapun pengurangan tersebut seperti, resiko buruh dan peningkatan biaya pendapatan.
  6. Wakaf dianjurkan kepada mereka yang memiliki keuntungan yang besar, sehingga dapat memulihkan kondisi ekonomi masyarakat.
  7. Perbedaan bentuk asuransi sosial haruslah didukung dan diakui untuk membantu individu yang mengalami kerugian karena adanya musibah yang menimpa.
  8. Kebijakan ekonomi sangatlah dianjurkan guna mengurangi perbedaan (ketidak-merataan) dalam distribusi. (Zarqa, 1995 : 215-216)
Uraian di atas memberikan gambaran yang jelas, bahwa pada dasarnya Islam sangatlah memperhatikan kemakmuran masyarakat secara merata. Sehingga wajar kiranya jika kemudian diwajibkan pada orang yang memiliki pendapatan yang lebih untuk mengeluarkan sebagian dari hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan. Di samping itu, pengeluaran dari sebagian kekayaan tersebut lebih dimaksudkan distribusinya sebagai bagian dari nilai ibadah, yang juga sebagai usaha untuk membersihkan harta yang dimiiki.

Selain itu, kiranya perlu jika kita kembali melihat beberapa solusi yang ditawarkan oleh Salama, tentang proses distribusi dalam sudut pandang syari’ah Islam pada sebuah negara, di mana ia menyatakan bahwa :

  1. Hendaknya pemerintahan Islam lebih mementingkan dan mengutamakan distribusi yang merata bagi masyarakatnya. Dianjurkan bagi pemerintahan tersebut mengkaji ulang proses distribusi yang selama ini diterapkan.
  2. Distribusi kebutuhan pokok merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintahan Islam. Hal ini lebih merujuk pada khutbah khalifah Umar Ibn al-Khattab (yang mengacu pada persoalan distribusi), yaitu adalah merupakan kewajiban bagiku sebagai khalifah untuk meningkatkan distribusi serta rizki pendapatan kalian.
  3. Masyarakat muslim yang kaya juga memiliki kewajiban untuk menyisihkan sebagian kekayaan yang dimilikinya pada orang-orang miskin dalam suatu negara.
  4. Hendaknya suatu negara atau pemerintahan lebih mengutamakan kesempatan kerja serta mewajibkan kerja bagi masyarakat yang sanggup melaksanakannya. Hal ini lebih cenderung merujuk pada pendapat yang menyatakan bahwa Islam mendorong seseorang untuk bekerja, makan (konsumsi) dengan menggunakan hasil jerih payahnya sendiri serta tidak mengambil shadaqah yang bukan haknya.
  5. Pemberlakuan undang-undang bagi suatu negara sangatlah diharapkan guna mengurangi kezhaliman serta mewujudkan larangan pada persaingan yang tidak sehat dalam lembaga-lembaga Islam dan hendaknya pemerintahan tersebut melakukan persamaan hak dan kesempatan bagi masyarakatnya guna menghambat (jika tidak ingin dikatakan menghapus) berlanjutnya kemiskinan.
  6. Adalah hal yang memungkinkan bagi suatu negara untuk memegang prinsip jaminan kebutuhan pokok berdasarkan tanggung jawab hukum yang berlaku. Misalnya prinsip zakat yang didalamnya mencakup proses pendapatan dan pengeluaran yang relevan dengan kondisi modern.
  7. Hendaknya suatu negara memiliki suatu strategi khusus guna meningkatkan pendapatan dan pendistribusian kekayaan negara di bidang ekonomi.
  8. Seharusnya peredaran kekayaan negara tidak hanya berkisar pada pemerintah semata, melainkan rakyat atau masyarakatpun berhak untuk merasakan kekayaan negara yang ada.
Dari uraian di atas, kiranya sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh an-Nabhani, yang menyatakan bahwa milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin, yang mana pengelolaannya merupakan hak khalifah. Sehingga terjadi proses kepatuhan masyarakat pada suatu negara dalam mengelola kekayaannya. (an-Nabhani, 1999 : 234)

Uraian di atas memberikan gambaran kepada kita akan pentingnya peran pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun masyarakat hendaknya turut mendukung usaha pemerintah dalam meningkatkan kekayaan atau pendapatan negaranya, sehingga terciptalah apa yang sering kita istilahkan dengan masyarakat yang adil dan makmur melalui kerja sama yang baik tersebut, tentunya “team work” tersebut lebih mengacu pada ajaran dan nilai-nilai syari’ah Islam.

Adapun objek-objek syari’ah dalam distribusi (sebagaimana yang dikemuka-kan Ahmad), meliputi :

  1. Memuaskan kebutuhan-kebutuhan seluruh makhluk. Hal ini merupakan tujuan utama dari pembayaran transfer yang dibebankan oleh syari’ah dan dapat diaplikasikan kepada seluruh umat manusia, mungkin juga terhadap hewan.
  2. Menumbuhkan dampak positif dalam diri penderma, tujuan ini tidak pernah terpikir oleh para ekonom, kecuali jika ia memahami al-Qur’an dan aturan-aturan syari’ah.
  3. Menciptakan kebaikan atau perbuatan baik diantara masyarakat.
  4. Mengurangi perbedaan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan.
  5. Pemanfaatan yang lebih baik akan sumber daya alam yang dihasilkan oleh suatu negara.
  6. Menganjurkan seseorang untuk bermurah hati, dimana seseorang atau masyarakat (khususnya muslim) lebih tertarik untuk menjadi penderma. (Ahmad, 1995 : 211)
Mahfuzd Ahmad, secara lebih rinci lagi menguraikan perbedaan jumlah penduduk di negara yang mayoritas penduduknya muslim. Indonesia, Bangladesh, Pakistan dan Nigeria merupakan negara yang sangat tinggi jumlah penduduknya, hingga masing-masing mencapai lebih dari 60 juta orang. Adapun Turki, Mesir dan Iran jumlah penduduknya masing-masing antara 30-40 juta penduduk. Sedangkan Afghanistan, Iraq, Malaysia dan Sudan, masing-masing jumlah penduduknya antara 10-20 juta. Dan yang menjadi catatan di sini adalah tidak adanya hubungan antara jumlah penduduk dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh, Kuwait yang berpenduduk 1,03 juta jiwa adalah negara yang paling tinggi GDP-nya yaitu US$ 11,726 perkapita, sementara yang paling rendah adalah negara Bangladesh dengan US$ 68 perkapita, jumlah penduduknya 76,8 juta jiwa. Adapun mengenai perbedaan pendapat di negara-negara tersebut, hanya 46 juta atau sekitar 7,6 % yang memiliki GDP sebesar US$ 1000 lebih perkapita. Hampir sekitar 2 sampai 3 dari penduduk mempunyai GDP kurang dari US$ 250 perkapita. Selain itu, hasil pertumbuhan dari pendapatan negara yang tinggi, juga menjadi alasan yang tepat sebagai unsur penunjang pendapatan (kekayaan) negara. (Ahmad, 1995 : 233-234)

Selanjutnya Ahmad mengemukakan analisisnya mengenai distribusi dalam Islam yang merupakan alat mengungkap ketidak-merataan pendapatan dari kekayaan negara yang ada. Tentunya kesemua ini kembali merujuk pada ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta kerangka kebijakan yang muncul dan berkembang di masa pemerintahan Khulafa al-Rasydin. (Ahmad, 1995 : 237)

Dari beberapa uraian di atas, terlihat bahwa pertumbuhan penduduk bukanlah merupakan satu-satunya cara untuk meningkatkan pendapatan kekayaan negara. Akan tetapi lebih pada bagaimana negara tersebut mengelola kakayaan yang ada. Untuk selanjutnya mendistribusikan kekayaan yang ada tersebut secara lebih adil. Sehingga tidak ada diantara rakyatnya yang merasa diperlakukan tidak adil. Sebagai contoh, beberapa peristiwa yang terjadi di negara kita Indonesia memberikan penjelasan betapa distribusi yang adil dan merata sangatlah dibutuhkan oleh masyarakat kita. Hingga tidaklah mengherankan, jika yang terjadi kemudian adalah kekecewaan daerah yang terinspirasikan melalui keinginan daerah untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Indonesia, yang secara tidak langsung hal tersebut berimplikasi pada terciptanya otonomi daerah.

Sementara itu, Salama mengemukakan bahwa pembahasan mengenai distribusi ekonomi dari kebutuhan pokok, kiranya banyak di tinjau dari sudut pandang sejarah, hal ini sebagaimana yang ia kemukakan di mana pada abad 16 kebanyakan dari negara Barat belum menyentuh usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, belum juga terwujud konsep buruh secara lebih teratur, serta belum adanya pengungkapan ide-ide serta pengaturan ekonomi dari sebuah pemerintahan atau negara, akan tetapi pengaturan pemerintah yang ada lebih banyak menyinggung hal-hal yang berkenaan dengan masalah perpajakan. Demikian pula dengan apa yang bermukim di daerah yang cenderung memiliki inisiatif sendiri untuk merealisasikan penyisihan hartanya kepada masyarakat yang kurang mampu. Dan hal ini terus berlanjut pada masa sekitar tahun 1529 hingga tahun 1531. Sementara itu, di negara Britania (Inggris) pada tahun 1537, belum ditemukan tersentuhnya keadaan atau usaha yang baik akan perlakuan negara pada orang-orang yang miskin dan tidak mampu. (Salama, 1995 : 128-129)

Terlepas dari beberapa uraian di atas, penulis mencoba mengajak pembaca untuk melihat kembali beberapa pembahasan mengenai distribusi yang berlaku dimasa Nabi Muhammad saw, apa dan bagaimana sumber pendapatan negara serta pengeluaran negara yang ada di masa tersebut. Hal ini dapat di lihat pada halaman belakang makalah ini, tentunya sebagai perbandingan antara konsep distribusi dalam sistem ekonomi umum (kapitalis maupun sosialis) dengan konsep distribusi yang ditawarkan Islam.


E.   Penutup
Pendapatan sumber kekayaan negara merupakan langkah awal yang harus diperhatikan oleh sebuah negara, guna mewujudkan distribusi yang adil dan merata bagi masyarakatnya. Selain itu, negara hendaknya memiliki konsep maupun kategori dalam menetukan nilai keadilan dari proses distribusi melalui pendapatan yang dimilikinya.

Di samping partisipasi dari masyarakat untuk mengelola sumberdaya yang ada, maka negarapun memiliki peranan yang penting dalam mengalokasi dan mendistribusi pendapatan yang ada pada masyarakatnya. Sebagai seorang muslim hendaknya kita meyakini bahwa distribusi yang baik dan sangat memungkinkan aplikasinya dimasa modern ini (terutama di negara kita yang sedang dilanda krisis ekonomi) adalah melalui penerapan distribusi dalam konsep ekonomi Islam sebagaimana dijelaskan melalui berbagai pendapat para ekonom dan pemikir Islam di atas.



DAFTAR PUSTAKA


Gulaid, Mahmoud dan Mohamed Aden Abdullah (Ed.,). 1995. Reading in Publik Finance in Islam, Jeddah, Islamic Development Bank, Islamic Research and Training Institut

Karim, Adiwarman Azwar, 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta, Pustaka Palajar

Karim, Rusli (Ed.,). 1992. Berbagai Aspek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Tiara Wacana

Madjid, Nurcholish. 2000. Islam : Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina

Mannan, Muhammad Abdul. 1993. Islamic Economic : Theory and Practice (Ekonomi Islam : Teori dan Praktek), terj. Nastangin, Yogyakarta,  Dana Bhakti Wakaf

Nabhani, Taqiyuddin. 1999. An-Nidham al-Iqtishadi fi al-Islam (Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam), terj. Maghfur Wahid, Surabaya, Risalah Gusti

Qardhawi, Yusuf. 1997. Daurul Qiyam wa al-Akhlak fi al-Iqtishad al-Islami (Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam), terj. Didin Hafidhuddin dkk., Jakarta, Robbani Press

Rahman, Afzalur, 1995, Economic Doctrines of Islam (Doktrin Ekonomi Islam II), terj. Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf

Penulis adalah Alumni Program Pascasarjana Magister Studi Islam (MSI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Konsentrasi Ekonomi Islam. Angkatan 2001/2002


0 komentar:

Posting Komentar